Ilustrasi gambar: Pexels/ Pixabay |
Ada yang bilang bahwa semua bisa dibeli dengan uang, bahkan kebahagian sekalipun. Setujukah anda dengan pernyataan ini? Orang yang anda lihat bahagia, belum tentu ianya punya rasa yang sama sebagaimana anggapan anda. Bisa jadi bahagia yang ia rasakan hanya sebatas luarnya saja. Padahal mungkin ia tertekan batin.
Saya ingin ceritakan ulang apa yang pernah dialami oleh orang yang membagikan ceritanya pada saya. Namun sebelumnya, persepsikan diri anda bahwa cerita ini bukan mengeneralisir keadaan. Tidak jarang juga seseorang memiliki pengalaman yang berkebalikan.
Ini tentang rumah tangga. Begini, mereka menikah sebab perjodohan. Calon istrinya seorang dengan kecukupan materi yang sangat baik. Sementara ia hanya seorang biasa. Tidak ada perjanjian khusus atau permintaan muluk saat menyepakati pernikahan.
Pihak wanita juga tidak mensyaratkan hal macam-macam. Seperti mahar yang besar, punya rumah mewah lengkap dengan isinya dan sebagainya. Kesepakatan berlanjut hingga berlangsungnya pernikahan. Semua biaya pernikahan ditanggung oleh pihak wanita. Termasuk tempat tinggal, kendaraan dan sarana prasarana lainnya pasca menikah.
Bahagiakah mereka? Belum tentu. Sang suami merasa terkekang dengan aturan yang ditetapkan oleh pihak wanita. Sebab diawal, semua kebutuhan sudah ditanggung oleh pihak wanita, sang priapun merasa ‘impoten’ sebagai kepala rumah tangga. Tidak bisa mengambil keputusan. Ia hanya diminta untuk ‘menurut saja’ dengan kebijakan dari keluarga wanita.
Sebulan dua bulan ia mencoba bertahan melalui hari-hari bagai di penjara emas. Tak perlu lagi baginya memikirkan sebuah pekerjaan, membayar sewa rumah, pelesiran ke berbagai tempat indah bahkan hingga mau makan enak apa lagi, semua sudah ada yang atur.
Tapi dibalik itu, hatinya tidak puas. Ia ingin mendidik istrinya untuk taat padanya, menghargai pemberiannya walau sedikit dan menghormatinya sebagai seorang suami sekaligus kepala rumah tangga. Hal itulah yang belum dirasakan. Yang ada malah, ia harus ikut apa yang mereka mau.
Hingga suatu hari terdengar ucapan yang sangat menyakitkan hatinya. Pihak wanita menyinggung kondisi ekonomi keluargannya. Atas ketersinggungan itu, ia dan keluarganya menjadi kesal hingga berbuntut pada pemutusan suatu ikatan. Setelah menduda, ia tak mau lagi mencari wanita yang memiliki harta melimpah.
Ia menentukan kriteri calon istrinya adalah wanita yang berasal dari keluarga yang memiliki tingkat ekonomi biasa-biasa saja. Agar se-kufu, katanya. Menyatukan dua strata ekonomi yang berbeda bukanlah mudah.
Semoga bermanfaat
0 Comments:
Posting Komentar