Sumber gambar: Pixabay |
Seperti
sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa “pengalaman adalah guru terbaik”, maka
untuk menjadi guru yang terbaik harus punya banyak pengalaman mendidik. Mendidik
bukan pekerjaan sekadar menyalurkan ilmu akademik saja. Pendidik bukan hanya
dituntut untuk bisa menyelesaikan administrasi keguruan saja seperti perangkat
pembelajaran dan lain-lain. Namun seorang pendidik lebih dituntut untuk bisa
memahami anak didik, menjadi figur yang digugu dan ditiru.
Memang
tidak mudah untuk menjadi seorang yang digugu dan ditiru. Seolah-olah guru itu
adalah manusia yang sempurna. Seolah-olah guru itu adalah manusia yang tidak
punya aib hingga harus dipercaya dan ditiru. Guru juga manusia yang bisa silap
dan bisa berbuat salah. Guru juga bisa melakukan tindakan yang dapat
melunturkan gelar “digugu dan ditiru” nya.
Menghormati
guru adalah pekerjaan yang ‘memaksa’ siswa untuk tunduk dengannya, dengan
peraturannya. Buktinya, tidak sedikit mantan siswa yang berjumpa dengan gurunya
diluar lingkungan sekolah yang tidak menaruh sikap hormat pada ‘mantan’
gurunya. Jangankan menegur, untuk menatap wajahnya saja pun enggan. Itu karena sikap
hormat yang selama ini tertanam dalam diri mereka adalah sikap hormat yang
‘dipaksa’.
Profesi
guru ini membutuhkan kesabaran yang tinggi. Guru adalah orang yang sabar. Ya,
sabar menghadapi tingkah anak-anak yang berbeda. Mengesampingkan egois dan
mengutamakan anak didik. Senyum adalah hal utama yang harus dilakukan guru saat
memasuki kelas. Membuang jauh-jauh masalah saat berdiri di depan siswa
menjelaskan materi ajar.
Mereka
tidak pernah tahu bahwa orang yang berada didepan mereka itu sedang mempunyai
masalah. Misalnya memikirkan tagihan angsuran motor, atau istri yang mengeluh
karena penghasilan yang kurang, atau memikirkan biaya anak-anaknya yang akan
memasuki sekolah baru. Semua itu tidak terlihat di wajahnya saat memulai
aktifitas mengajarnya. Yang ia tahu bahwa ia adalah seorang fasilitator bagi
anak didiknya. Ia menjadi jembatan penyebrangan menuju perbaikan sikap. Ia juga
menjadi teman curhat dikala siswanya punya masalah. Itulah pekerjaan guru.
Jika
semua guru sadar akan profesinya yang bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan,
maka sikap menghormati guru itu muncul dengan sendirinya dalam diri siswa.
Bukan sikap hormat yang ‘dipaksa’. Jika ini yang terjadi, maka tidak akan ada lagi
kata ‘mantan’ guru dan ‘mantan’ murid. Sekali jadi guru, maka untuk selamanya
ia adalah guru bagi mereka.
Guru bukanlah pekerjaan yang harus dihindari
dengan alasan belum mampu menjadi teladan bagi anak didik. Namun pekerjaan ini
mengantarkan pelakunya untuk membiasakan diri menuju keteladanan. Semoga setiap
guru sadar dengan profesi yang ia geluti, agar tidak muncul sikap ter-dzolimi
antara siswa dan guru. Semoga bermanfaat.
0 Comments:
Posting Komentar