Ilustrasi gambar: Pixabay |
Obrolan itu bermula saat Doni, teman kuliahku yang sekarang bekerja di sebuah ekspedisi mengantarkan paket belanja online ke kantor guru, tempatku mengajar. Sebelumnya sudah terdengar kabar bahwa ia telah lulus administrasi tahap awal penerimaan calon guru di sebuah sekolah yang menjadi banyak incaran calon guru karena gajinya yang besar.
Lima kali lebih besar dari gaji yang kuterima saat ini. Ditambah lagi ada tunjangan ini dan itu. Juga dana pensiun sebesar setengah besaran gaji pokok aktif bekerja. Siapa yang tidak tergiur?
Entah! Orang tidak memandang sebelah mata lagi ketika lulus mengajar disitu. Seperti mendapat sebuah kasta tertentu dalam masyarakat. Sebuah prestasi, kebanggaan, nilai jual, dan kesejahteraan hidup. Itu menurut mereka.
“Kamu nggak daftar seleksi penerimaan guru di sekolah itu?” Pertanyaan itu baru saja ku dengar. Aku yang masih mencari kolom daftar penerima paket itu menjadi bingung. Memikirkan jawaban yang enak untuk didengarnya, tanpa membuatnya tersinggung. Tapi juga tak membuatku harus berbohong.
“Jauh dari prinsip” jawabku ringan.
Aku masih diam. Melintas di pikiranku bahwa jawaban yang baru saja aku berikan itu terlalu sombong. Yang pasti itu adalah jawaban terakhirku setelah sebelumnya pikir ini berkelebat bingung menentukan sebuah jawaban. Ya, banyak hal yang bertentangan dengan hati nuraniku. Yang kupikir adalah jika aku lulus dalam seleksi penerimaan itu, aku akan ditempatkan di sekolah umum.
Ruang guru yang bercampur antara guru pria dan wanita. Tanpa terbetik rasa sungkan ngobrol ngalor ngidul saling bertatap muka padahal bukan mahram. Ini jelas melanggar prinsipku. Apalagi aku belum menikah, menatap wajah wanita yang halal dinikahi adalah ujian berat.
Jika imanku tak kuat, bisa-bisa setan menggodaku untuk melukiskan salah satu wajah guru tercantik di sekolah itu dalam benakku. Semua itu berawal dari tatapan mata, bukan?
Aku mendengar suara gesekan kaki kursi yang ditumpangi Doni bergeser sedikit ke belakang. Ia beranjak berdiri akan pergi. Kulihat air mukanya berubah. Ia ingin menyampaikan sesuatu tapi masih diam. Hanya bahasa verbal yang ku tangkap dari air mukanya. Ia membenci jawabanku. Ia mengambil kertas tanda terima itu dengan ketus lalu pergi tanpa salam.
***
Mendung kian garang menampakkan wajahnya. Satu persatu rintik hujan mulai terdengar menjatuhi atap. Udara terasa dingin. Kini curahan air pun menggenang. Beberapa orang tampak berseliwer memegang payung dan mengangkat setengah celananya agar tak basah terciprat air. Aku menatap hujan dibalik jendela.
Agh! Sebaiknya kujawab saja pertanyaan Doni tadi dengan ucapan ‘tidak tahu’. Seperti kata orang Medan, ‘ambil amannya saja’. Tanpa harus meninggalkan rasa tak berkenan padanya.
Dulu, Aku pernah akan pergi menjadi pelamar calon guru di sekolah itu. Sebuah kota berjarak dua belas jam dari domisiliku. Demi sebuah kuota lebih. Demi sebuah harapan. Enam tahun yang lalu. Semasa kuliah, seperti sudah menjadi sebuah cita-cita mahasiswa untuk bisa masuk di sekolah tersebut.
Aku sempat minta izin pada ibu untuk ikut seleksi penerimaan itu. Namun raut wajahnya bertafsir bahwa ia tak begitu menyukainya. Ia mengatakan bahwa menjadi guru disitu bukan jaminan hidup mapan.
Ia juga mengingatkan pesan almarhum ayah dulu bahwa hidup di dunia ini hanya numpang lewat, karena tujuan hidup sebenarnya adalah akhirat, bukan dunia. Ia juga mengatakan bahwa ia cukup bahagia jika masih bisa melihatku lebih dekat.
Agh, aku bersyukur dulu tidak jadi melamar ke sekolah itu. Seandainyapun aku lulus, tentu aku tak lagi diberi kesempatan untuk berbakti pada ibu. Bahkan aku tak lagi sempat mendengarkan kata-kata terakhir darinya. Mataku berkaca.
Yang kutahu, rejeki orang itu sudah diatur. Derajat tertinggi adalah takwa, bukan gaji tertinggi. Bekerja dimanapun, tidak akan dapat mengurangi atau menambah rejeki yang telah ditentukan.
Medan 040320
0 Comments:
Posting Komentar