KKN di Desa Peracun
Ilustrasi gambar: Pexels/ Ahmed Aqtai |
Ibu Karsem, salah satu penduduk setempat yang rumahnya disewa oleh kepala dusun untuk menjadi posko mahasiswa KKN. Suaminya meninggal setahun yang lalu. Malam itu ia berbagi cerita tentang suatu yang janggal terjadi di rumahnya. Kadang ia mencium bau asap rokok. Padahal tak satupun dari mahasiswa KKN itu yang merokok. Ia percaya bahwa bau asap rokok itu pertanda kedatangan suaminya.
Ibu Karsem berpesan pada mereka agar selalu berhati--hati kemanapun di desa itu. Ada sepasang suami istri yang telah dikenal masyarakat setempat sebagai "Peracun". Mereka akan mencari tumbal untuk memperpanjang ilmu hitamnya. Seketika itu ia sedih, karena kata 'orang pintar', suaminya meninggal karena terkena racun mereka.
Semua memandang Aisyah. Cerita itu jadi beku. Malam jadi hening. Ya, hanya Aisyah yang mengisi jadwal KKN-nya dengan mengajar mengaji anak-anak di desa. Diantara teman-temannya, Aisyah lebih baik bacaan mengajinya. Aris, anak dari "Peracun" itu diam-diam suka padanya.
Seminggu berlalu, mereka mendapat kabar bahwa Aris jatuh sakit. Mereka datang menjenguknya. Dirumahnya, tidak ada siapa--siapa kecuali dia dan ibunya. Saudaranya yang lain merantau ke luar kota.
Ibunya menyajikan teh untuk mereka.
Glek.. glek.. glek..
Aisyah menghabiskan teh itu dengan segera. Yang lain masih heran. Mereka takut kalau teh itu sudah dibacakan mantra. Aisyah memulakannya dengan mengucap basmalah. Ia tahu bahwa segala aktifitas yang dimulakan dengan ucapan itu akan mendapat perlindungan.
Dua bulan berlalu. Membuat taman, gotong royong desa, menempel nomor rumah masyarakat, menghidupkan pengajian dan lain-lain. Aris dan pemuda setempat lainnya juga banyak membantu mereka dalam mengisi jadwal kegiatan KKN.
Tibalah hari terakhir mereka di desa itu. Aris memberi surat pada Aisyah.
06 Agustus 2010
Teriring salamku pada Dik Aisyah, semoga sehat selalu dalam lindungan Tuhan. Aisyah, Aku salut padamu. Bagiku kau adalah wanita istimewa yang pernah kutemui. Walau kau tahu bahwa aku ini anak siapa.
Maaf kalau aku lancang berkirim surat padamu. Aku hanya ingin menyampaikan bahwa aku suka kamu. Tapi aku sadar, aku ini siapa. Gadis sholehah sepertimu lebih cocok mendapat pasangan yang sepadan ilmu dan nasabnya. Aku tak ingin melukaimu. Kau begitu baik. Pasti bahagia orang yang akan menjadi suamimu kelak.
Ada satu hal yang ingin ku ceritakan..
Kalau boleh aku menyesal, aku juga tidak menginginkan kondisi ini. Kakek nenek kami dulu menguasai ilmu hitam. Harus ada yang menjadi tumbal agar dapat meneruskan awet ilmu itu. Kalau tidak, maka ilmu itu sendirilah yang akan memakan tuannya. Ini adalah ilmu keturunan dan akan diturunkan juga kepadaku kelak. Mungkin orang tuakupun merasa seperti apa yang ku rasakan.
Apa mau dikata. Bagaimanapun dia tetap orang tuaku. Aku hanya bisa pasrah dan memohon agar Tuhan memberi hidayah pada kami. Terima kasih, Aisyah. Semoga sukses dalam cita-citamu.
Aris
***
Waktu mengantarkan mereka ke resepsi pernikahan. Malam setelah acara itu, mereka saling berpandang. Baju kebaya yang dikenakan Aisyah belum lagi tanggal.
"Kita salat dua rakaat dulu. Aku ingin engkau mendo'akanku" kata Aisyah tersipu. Aris tersenyum. Setelah selesai salat, Aris mengecup ubun-ubun Aisyah sembari berdo'a. Aisyah mencium tangan Aris penuh khidmat.
Tiba-tiba tenggorokan Aisyah gatal. Ia batuk lalu sesak napas.
"Apa yang terjadi, Aisyah? Apa yang kau makan tadi?"
"Tidak tahu, Mas. Ketika banyak tamu tadi, ibu memberi air minum. Karena ia melihatku lelah" jawabnya
"Apa kau tak baca basmalah saat meminumnya?"
"Aku lupa, Mas. Tadi sedang banyak tamu.."
"Tak ada manusia yang sempurna, Aisyah. Setiap orang pasti pernah khilaf" sahut Aris menenangkan.
"Kita ke rumah sakit. Setelah itu aku akan menghubungi Ustadz Habib. Ia mungkin bisa menolong kita dengan rukiah" lanjutnya khawatir.
Berulang kali Aris menelepon Ustad Habib namun tetap juga belum tersambung. Biasanya Ustad Habib ada di masjid menghafal Qur'an. Tapi kali ini tidak ada. Aris menuju rumahnya yang tak jauh dari masjid. Ia kecewa. Sebuah gembok menaut pagar rumahnya. Tetangga samping rumah itu memberitahu bahwa Ustad Habib sedang pulang kampung.
***
Ia mendekati Aisyah dengan sedih.
"Aisyah, kalau kau izinkan, akan kupanggil “datuk” yang pernah menolong orang yang sakit karena racun ini.." Ucap Aris gerimis. "Mas, aku hanya sementara bagimu.. Aku tidak kekal untuk kau miliki. Masih ada yang lebih berharga dibanding semua ini, yaitu keimanan.." Jawabnya setengah memaksak diri.
"Musibah yang menimpa adalah suatu ujian untuk meningkatkan ketaqwaan kita, Mas. Aku tak mau berbuat syirik. Lebih baik aku mati dalam keimanan daripada sembuh dalam kesyirikan". Tegasnya menghabiskan sisa tenaganya.
"Tapi, Aisyah.." Aris kalut. Wajahnya mulai sembab. Ia tak sanggup berkata apa-apa lagi. Sejenak terlintas masa indah bersamanya. Saat menjenguknya di rumah kala sakit. Saat senda gurau yang melimpahkan hasrat. Semua seolah sirna saat ia tatap kembali lekat wajah Aisyah.
Hatinya serasa teraduk tak menentu. Ada cinta yang terbalut rindu. Ada sesal berselimut dendam. Semua rasa terkumpul menjadi satu kesedihan. Tiba--tiba pandangannya memudar.
Delitua, 01042020
0 Comments:
Posting Komentar