Informasi Dan Edukasi

Sabtu, 21 November 2020

Luka yang Pernah Ada

Luka yang Pernah Ada
Ilustrasi gambar: Pixabay/ Felix Mittermeimer


Siang itu begitu melelahkan. Kutinggalkan semua pekerjaan walau hanya sesaat. Kuputar lagu-lagu pop hits tujuh tahun silam yang mungkin bisa menghiburku dari penatnya pekerjaan. Grup band Dewa 19, melantunkan lagu berjudul kangen. Suara Arie Lasso sang vokalis itu mengingatkanku masa saat aku bercanda dengan seseorang di taman sekolah. Anganku terbang bersama tembang nostalgia itu.

 

Aku melihatnya lagi. Yang kuingat saat aku mengenal dan mulai jatuh hati padanya, saat itulah lagu ini kudengar. Suaranya masih terngiang. Aroma parfumnya serasa menyengat. Bayangan tubuhnyapun masih tergambar. Ia mulai mendekat, ingin membisikkan sesuatu ditelingaku. Dan..  

 

"Pak Radit, Pak! Pak! Pak Radit," tubuhku tergoyang pelan beserta ucapan itu. Salah seorang staff yayasan membangunkanku. 'Kurang ajar!! Ia mengacaukan segalanya. Kenapa tak ditunggu saja sampai ia membisikkan kata-kata itu baru aku dibangunkan?' Kataku dalam hati. Oh, sungguh sayang. Mungkinkah mimpi itu bisa kusambung lagi? 

 

Tunggu! Kenapa aku sampai memimpikannya? Padahal aku sudah berusaha keras untuk melupakannya. Mungkin benar kata orang bahwa cinta pertama itu sulit untuk dilupakan. Semakin berusaha untuk melupakannya, semakin sulit pula untuk dilupakan.

 

"Maaf, Pak, saya mengganggu. Ada orang tua murid yang datang membawa berkas penerima bantuan" ucap staff itu sambil meletakkan berkasnya di mejaku. Aku masih terdiam. Kepalaku masih berat. Kliyengan. Mungkin karena tidurku yang terganggu. Orang tua murid dan staff yayasan itu juga belum kulihat. Kusahut saja lembaran berkas formulir pendataan penerima bantuan itu dengan sedikit malas. Rasanya tak ingin kukerjakan karena masih mengantuk.

 

Penaku terhenti menulis, melihat nama orangtua siswa itu. Nama itu mengingatkanku pada seseorang tujuh tahun silam. 'Ah, mungkin ini hanya kebetulan saja. Berjuta orang yang tinggal di Jakarta ini. Bukan tidak mungkin ada kemiripan nama juga' tepisku di hati. Tapi kenapa aku mendadak gundah? Seperti ada yang mengganjal. Ada rasa yang menyusup begitu saja. Juga, rasanya jantungku berdegub tidak biasa.

 

Apa aku masih bermimpi? Tidak! Tadi sempat kuseruput kopi hangat yang dihidangkan oleh staff yayasan agar aku terlihat segar. Dengan perlahan dan gusar, kucoba mendongakkan kepalaku menatap orang tua murid itu penasaran, dan..

 

Astaga! Kami saling pandang. Ia juga terlihat heran dan bingung.

 

"Ma, ma, maaf,  Pak! kenapa melihatku begitu?" bukanya terbata.

"Hasnah, kan?" tanyaku meyakinkan.

"Ha, ehm, eng.. eng.. eng.. enggak kok. Eh, ya, benar, Pak. Itu memang nama saya. Kan ada di berkas yang Bapak pegang"

"Hasnah, masih ingat saya?"

"Oh, gak, Pak. Mungkin Bapak salah orang. Saya baru pindah dari Semarang, sebulan yang lalu. Maaf, Pak, saya terburu. Data pelengkapnya nanti saya kirimkan saja ke Bu Lina. Kebetulan rumah kami berdampingan. Ia juga sering mengantar anak saya ke sekolah sekalian mengajar." Sahutnya tergesa mengejar anaknya. Anak itu tampak bingung sendiri. Berjalan kesana kemari tak tentu arah. Lasak. Iapun keluar ruangan setelah berhasil menangkap anaknya.

 

Heran, bingung dan penuh tanda tanya mengitar dibenakku. Kenapa ia langsung menangkap apa yang ingin kutanyakan? Kenapa juga saat kutanya, ia merasa bingung menyiapkan jawaban? Tidak mungkin aku salah orang. Yang berbeda hanya potongan rambutnya saja. Dulu panjang sekarang pendek. Tubuhnya juga, dulu langsing sekarang gemuk. Tapi gaya berjalannya masih sama. Bicaranya juga masih sama, lembut dan khas.

 

Jariku tengah lihai membuka berkas Ibu Hasnah seperti seorang detektif. Rasa kantuk itu hilang entah kemana. Ya, kantuk itu kini berganti menjadi penasaran. Jari telunjukku kini berjalan seirama tabel data itu, tanda sampai dimana aku membacanya dalam hati. Teliti dan seksama. Akhirnya kudapatkan juga apa yang kucari. Nama suami dan nama ibunya yang sudah ku kenal. Fotocopy buku nikah itu juga mencantumkan tanggal dan tempat pernikahan mereka yang sama seperti yang pernah kulihat pada undangan tujuh tahun silam. Dan anak itu ?

 

Mataku kembali bringas menyisir berkas itu. Akhirnya kutahu kalau anaknya itu mengidap penyakit autis. Penyakit yang tidak bisa mengendalikan emosinya sendiri. Penyandang autis sering melakukan kegiatan sendiri bahkan bercakap-cakap dengan dirinya sendiri. Dunia yang ada di dalam khayalan dan pikirannya jauh lebih menarik dibandingkan dengan dunia nyata yang ada disekelilingnya. 

 

Penyandang autis selalu tidak mengindahkan apa yang dikatakan dan disentuh oleh orang lain. Ia cenderung melakukan hal yang disukai dan dianggap benar sendiri. Komunikasi yang terputus itulah yang kemudian menjadi kesulitan bagi penyandang autis untuk menerima keberadaan dirinya secara utuh.

 

Berbagai hal yang datang dari luar khayalannya akan sulit untuk diterima sehingga dibutuhkan pendidikan dan pengajaran khusus kepadanya untuk bisa menerima ilmu pengetahuan dan wawasan yang dibutuhkan. Ya Tuhan, tak terbayangkan olehku betapa sulit dan repotnya mengurus anak seperti itu. Semoga hal itu jauh dari keluargaku. Aku terdiam. Sesaat bayangan tujuh tahun silam itupun melintas kembali.  

***

Aku masih ingat. Saat itu hapeku tengah kehabisan daya. Aku ingin menghubungi keluargaku yang berada di luar kota. Lalu kupinjam hapemu untuk mengirim sms pada keluargaku agar aku dapat dihubungi. Dan ketika menerima balasan sms, tanpa sengaja aku melihat pesan itu. Saat itulah aku tahu bahwa kau ternyata menjalin hubungan dengan orang yang kau sebut temanmu itu.

 

Sengaja dalam hapemu tak kau buat nama dari pemilik nomor itu, agar aku tak curiga. Setelah kuperiksa untuk memanggil nomor itu dihapeku, barulah muncul nama dari pemilik nomor hape itu. Lebih yakin lagi, saat isi sms yang kulihat itu mengatakan bahwa ia cinta padamu. Aku hampir tak percaya.

 

Engkau masih saja beralasan yang bukan-bukan padaku. Aku serasa boneka mainanmu. Bahkan aku masih ingat saat kau mengatakan, "Kami hanya berteman" Acara syukuran kelulusanmu juga aku tak diundang. Mungkin karena keluargamu orang terpandang, sementara aku hanyalah anak seorang petani.

 

Lamunanku tiba-tiba terhenti saat ibu memanggilku untuk makan. Sebenarnya siang tadi hendak beranjak makan, tapi entah mengapa suara ketokan pintu itu tiba--tiba menggangguku dan membuatku tak selera makan.

 

"Bang Radit, ini ada kiriman dari kakak. Maaf ya, Bang, aku cuma diminta menyampaikan." Ucap adiknya yang memberikan sebuah undangan. Mereka akan melangsungkan pesta pernikahannya di Jakarta. Kalau dikampung, banyak sanak keluarga lainnya yang tak mendukung.  

***

Waktu berlalu. Seragam putih abu-abu itu dulu pernah menorehkan kisah cinta. Sulit rasanya melupakannya. Cinta bertepuk sebelah tangan. Tujuh tahun telah kulalui sejak peristiwa itu. Aku lulus menjadi Pegawai Negeri Sipil di Departemen Sosial. Buah hatiku kini genap setahun usianya. Istriku seorang guru di salah satu sekolah dasar negeri di kampung kami. Kini tak ada lagi sisa--sisa namanya dihati dan benakku. Semua hanyalah sebuah kenangan. Aku terus disibukkan oleh pekerjaanku, hingga aku dikirim ke Jakarta untuk program penyaluran bantuan ke yayasan Sekolah Luar Biasa.

***

Entah harus bersikap bagaimana aku dengan kondisi ini. Ia juga manusia yang tak luput dari kesalahan. Bagaimana pula jika itu terjadi padaku? Lalu, apa aku harus sedih melihat keadaannya yang sekarang? Tapi aku pernah tersakiti.

 

Delitua, 090420

Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Statistik Pengunjung