Wanita Tua
Pixabay |
Hari ini anak-anak kembali ke rumah lebih awal. Kepala sekolah mengadakan rapat guru. Salah satu agenda rapatnya adalah membahas soal kesejahteraan guru. Pak Jalik langsung membuka pembahasan. Proses musyawarah mulai mengalir. Ada yang tidak setuju dan ada yang setuju atas rencana keputusan yang diambil dengan alasan agar kelangsungan belajar mengajar tetap kondusif. Kesehatan guru-guru terjamin, bahkan guru tidak perlu lagi untuk berjualan demi dapur di rumah bisa mengepul.
Dipojok ruangan, seorang wanita tua yang sudah sepuluh tahun mengajar disitu berujar,
“Pak, dulu sewaktu almarhum Pak Hamzah yang memimpin madrasah ini, beliau tidak pernah sekalipun mengajukan bantuan atau pinjaman kepada rentenir yang memang orang-orang sekitar sini sudah tahu akibatnya jika telat membayar atau tak bisa melunasi. Kedepannya kita gak tahu apa yang akan terjadi pada sekolah ini. Bukan tidak mungkin sekolah ini akan disita juga.”
“Bagaimana dengan nasib anak-anak kita kelak dan generasi seterusnya, Pak? Apa kita tidak khawatir? Sekecamatan, hanya inilah sekolah agama. Selebihnya umum. Saya kurang setuju, Pak..” lanjutnya sedih.
Sebahagian guru dalam forum itu masih diam. Ada guru yang setuju dengan pendapat wanita tua itu.
“Benar itu, biarlah saat ini kita perjuangkan madrasah ini agar kelak anak cucu kita bisa melestarikan pendidikan berbasis agama”. Sambutnya semangat.
***
Sudah lima gelas ku minum air mineral ini dalam waktu singkat. Kukira dapat menghilangkan rasa sakit di tenggorokan, tapi malah jadi sering ke toilet. Menelan ludah saja pun sakit. Sebentar lagi jam pelajaran ketiga berakhir, itu artinya aku harus masuk mengajar.
“Kenapa Pak Danu? Sakit?” tanya Pak Jalik
“Mungkin sariawan, Pak. Menelan terasa sakit”.
“Sariawan juga bisa disebabkan karena banyak pikiran, Pak. Baru-baru ini saya mengikuti seminar kesehatan. Banyak fikiran bisa membuat stress, stroke, tekanan darah tinggi dan beberapa penyakit lain, termasuk sariawan” Jawabnya mengakhiri.
Bel pergantian jam pelajaran berbunyi. Aku tak memaksakan diri menerangkan materi pelajaran kepada anak-anak. Sebelumnya kuberitahu bahwa aku sedang sakit dan berharap mereka bisa memakluminya. Mereka membahas materi LKS ‘Lembar Kerja Siswa’ secara berkelompok.
Aku masih teringat dengan apa yang dikatakan Pak Jalik tadi. Apa memang betul karena banyak pikiran? Sepertinya aku tak bisa membohongi diri sendiri. Keuanganku semakin menipis. Gaji kami hanya berharap dari dana BOS –Bantuan Operasional Sekolah- yang sudah tiga bulan tak kunjung turun. Dan sekarang memasuki bulan keempat. Hutangku pada Pak Jalik sudah mencapai satu bulan gaji.
Ada lagi hal lain yang menyita pikiranku. Umur yang semakin bertambah ini menuntutku untuk segera menikah. Pesta dalam sebuah pernikahan sepertinya sudah menjadi suatu kewajiban di kalangan masyarakat. Padahal itu tidak wajib. Yang wajib hanya melengkapi persyaratan menikah, seperti ijab qobul dan pemberian mahar. Berat bagi seorang lajang dengan penghasilan yang minim ini. Punya uang, ya gali lubang tutup lubang. Entah!
Jam istirahat tiba. Pak Jalik memanggilku ke ruangannya untuk mengajak berdiskusi.
“Begini, Pak! Ini menyangkut masalah dana bantuan pemerintah yang belum juga turun. Kemarin saya berbincang-bincang dengan teman saya yang juga kepala sekolah. Ia menyarankan agar kita pinjam uang kepada si Julius, pemilik grosir terbesar di kecamatan ini. Tapi syarat pembayarannya ditambah dengan membayar bunga lima persen saja dari jumlah pinjaman. Bagaimana menurut Bapak? Ini, kan untuk keberlangsungan kita bersama”, ucapnya semangat.
“Tapi, Pak, membayar bunga itu, kan riba. Itu dilarang agama, Pak!”
Air muka Pak Jalik berubah. Pias semangat itu tiba-tiba luntur.
“Tapi itu hanya usul, Pak. Semua terserah Bapak, akan dilanjutkan atau tidak”. Kataku mencoba mendinginkan suasana.
***
Akhirnya Pak Jalik memutuskan bahwa kami akan meminjam uang dari lembaga sosial yang syari’ah. Tidak ada bunga dalam pembayarannya. Murni hanya mengembalikan seberapa pinjaman yang diberikan. Kami merasa lega. Kekhawatiran itu terbilaskan sudah. Beberapa bulan kemudian, yayasan kami mendapat bantuan beasiswa bagi siswa miskin dari lembaga sosial syari’ah tersebut.
Delitua, 190620
0 Comments:
Posting Komentar