Matanya nanar memburu sebuah benda. Benda yang memang selama ini dia cari. Tapi hatinya menentang. Hari semakin panas, karung usang dan kumal juga masih menggandrung di punggung lelahnya.
Sandal kumuh dan dekil menjadi alas kakinya. Perut yang mulai lapar juga hampir tak terasa lagi. Yang penting hari ini bisa dapat banyak barang usang yang laku dijual.
Terngiang kembali suara anaknya yang kini duduk dikelas empat Sekolah Dasar, 'Ayah, kapan Ani dibelikan sepatu baru? Teman-teman Ani selalu mengejek, katanya ada jempol berjalan'. Ani sampai dijuluki jempol berjalan, karena bagian muka sepatunya koyak, sehingga ibu jari kakinya terkadang keluar.
Suara ngiangan itu begitu mendera. Saat anaknya mengucap kata-kata itu, ia hanya bisa menjawab, 'sabar, ya, nak. Nanti kalau ayah ada duit, akan ayah belikan. Jangan sedih kalau diejek teman, berdo'alah supaya rejeki ayah dilapangkan. Karena salah satu do'a yang kabulkan adalah do'anya orang-orang yang terdzolimi.'
Lagi-lagi ia bingung. Sepatu itu baru, lengkap dengan bungkus plastiknya. Ukurannya juga sesuai untuk putrinya. 'Kapan lagi aku bisa memberikan sepatu untuk anakku? Bila terus-terusan menunggu sampai punya uang, mana mungkin. Penghasilan pemulung seperti aku ini, hanya cukup untuk biaya makan sehari. Dapat siang, malam sudah habis. Tidak! Itu bukan milikku. Tapi jika aku tinggalkan, bisa diambil orang yang tidak bertanggung jawab' bimbangnya di hati.
Setibanya di rumah, ia selipkan benda itu di antara lemari dan rak buku, agar anaknya tidak tahu.
***
Selepas maghrib, seperti biasanya Ani mengaji, lalu belajar, membahas materi pelajaran yang akan dipelajari besok. Tanpa sengaja, tangannya menyenggol sebuah buku hingga jatuh di antara lemari dan rak buku.
Ia terkejut saat melihat ada sebuah bungkusan. Ia buka bungkusan itu dan wah, ia sama sekali tidak menyangka kalau isinya adalah sepatu. Kelopak matanya membesar, gemuruh perasaan senang tetiba merasuk. Ia segera berlari membawa bungkusan sepatu itu menuju ayahnya.
"Ayah, ini sepatu siapa? Ini untuk Ani, ya, yah?" Tanyanya menampakkan bungkusan itu penuh harapan. Ayahnya heran, kenapa sampai bisa ditemukan. Padahal ia menyimpannya sudah terlalu menyudut agar sulit diketahui.
Ia masih belum bisa menjawab. Ia menjaga perasaan Ani jika tahu bahwa itu bukan miliknya. Pelan-pelan ia jelaskan kejadian siang tadi hingga menemukan sepatu itu.
"Kan, Ayah sudah menemukannya, berarti ini sudah jadi milik Ayah, dong" tanyanya kembali agak ngotot.
"Anakku, jika kita menemukan suatu barang yang bernilai, kita wajib mengumumkannya dan menunggu datang pemiliknya selama setahun. Jika memang dalam setahun itu tidak ada yang mengaku memiliki sepatu itu, barulah kita berhak memilikinya." jelasnya runut.
Air muka Ani berubah, tak secerah saat ia menemukan sepatu itu.
"Sabar, ya, nak, Tuhan itu maha adil. Segala sesuatu pasti ada balasannya. Keikhlasan kita juga pasti akan ada gantinya" Sambungnya halus sambil mengelus kepala Ani.
"Tapi, yah, kapan? Setiap Ani minta sepatu baru, selalu saja itu jawaban ayah. Ani bosan, yah.. Sudah dua bulan Ani pakai sepatu rusak itu. Lebih baik Ani gak usah sekolah saja, yah.." Jawabnya menangis. Ia menghambur ke kamar.
Ia hanya bisa mengelus dada dan beristighfar. Tanpa terasa, bulir air matanya keluar. Hatinya keluh mendengar kata-kata Ani. Saat itu juga ia teringat pada mendiang istrinya dan kata-kata terakhirnya 'jaga anak kita mas..' Air matanya pecah.
***
Pagi itu di sekolah. Ani heran melihat Selvia yang keningnya terpasang plaster kecil. Tangan kanannya nampak ada bekas obat pengering luka. Ada memar sedikit di bagian sikunya. Iapun menanyakan keadaan teman akrabnya itu. Selvia bercerita bahwa kemarin ia baru beli sepatu di supermarket bersama ibunya.
Ketika hendak pulang, becak yang mereka tumpangi menyandung batu dan akhirnya oleng lalu jatuh. Untungnya mereka tidak apa-apa. Hanya luka sedikit dan memar ringan. Tapi sayang, barangnya ada yang hilang saat kembali diperiksa di rumah. Sepatu yang baru dibelinya.
"Jatuhnya dimana, Vi?" Tanya Ani penasaran
"Di perempatan jalan supratman"
"Ciri-ciri sepatu itu?" Tanya Ani lagi greget.
Selvia menjelaskan ciri-ciri sepatu itu mulai dari mereknya, modelnya, warnanya, nomor sepatu itu bahkan plastis bungkusnya bermerek toko dimana sepatu itu dibeli. Semua ciri-ciri itu sama persis dengan yang ditemukan ayahnya.
Setibanya di rumah, Ani menceritakan cerita itu pada ayahnya. Keesokan harinya, Selvia datang ke rumah Ani karena diundang oleh ayahnya. Ia pun ditanya perihal sepatu itu. Bentuk, warna, model, bahkan harganya yang masih tertera di bandrol. Ayah Ani mengembalikan sepatu itu setelah mantap dengan jawaban Selvia.
Ibu Selvia yang menemani anaknya merasa terharu dengan kondisi mereka. Masih ada orang jujur di tengah himpitan ekonomi. Ia lalu memberikan sepatu itu kembali untuk Ani karena Selvia telah dibelikan sepatu baru lagi. Ia juga menawarkan pekerjaan kepada ayah Ani, agar tidak memulung lagi.
Delitua, 070620
0 Comments:
Posting Komentar