Nilai Bukan Acuan Mutlak Melabelkan Siswa
Sumber gambar: Pixabay |
Jika survey kepuasan pelanggan terhadap suatu
produk ditentukan dengan nilai, misalkan nomor satu hingga sepuluh, dan nomor
tertinggi adalah perwakilan akbar atas kepuasan yang dirasakan oleh pelanggan,
maka nomor terendahpun mewakili ketidakpuasan pelanggan terhadap produk
tersebut.
Jika dua dari lima orang yang menjawab tidak puas,
apakah produk itu lantas dilabel gagal? Bagaimana dengan tiga orang sisanya
yang menjawab puas, atau paling tidak satu diantaranya memberi nilai sembilan,
atau masih banyak lagi yang tidak terjangkau untuk di survey yang menyatakan
kepuasan mereka terhadap produk tersebut?
Produk itu bukan menjadi produk yang gagal, melainkan
menjadi bahan pertimbangan perusahaan untuk berinovasi lagi lebih baik
kedepannya. Bisa saja kedua orang penilai itu tidak menyukai produk tersebut,
atau mungkin salah sasaran dalam memasarkan produk tersebut.
Apa kaitannya dengan siswa dan nilai? Maka salah jika
guru melabel siswa “pintar” dan “tidak pintar”. Mungkin karena sudah terbiasa
menjadikan angka sebagai penentuan urutan kepintaran siswa di kelas. Apakah
siswa dengan urutan kepintaran paling akhir lantas mutlak dilabel tidak pintar?
Siapa bilang?
Nyatanya, banyak ditemui orang-orang sukses yang dulunya
tidak terlalu pintar di kelas. Bahkan ada yang tidak tamat sekolah. Namun
mereka menjadi orang-orang sukses. Apakah mereka tidak pintar? Tentu tidak,
kawan!
Siswa yang mendapat nilai rendah dalam satu atau
beberapa bidang studi bukanlah karena tidak pintar. Ada banyak hal yang ia bisa
dan mampu, hanya tak terendus oleh angka penilaian saja. Mungkin itu bukan passion
nya. Atau mungkin itu bukan hal yang menarik untuknya. Dan sebaiknya pihak
sekolah tidak memaksakannya untuk bisa menguasai semua mata pelajaran dengan
nilai maksimal.
Kecerdasan setiap anak pasti berbeda. Mengutip
informasi dari kompas.com, 01/10/2015, peneliti mengungkapkan ada 8 jenis
kepintaran anak. Yaitu, kecerdasan linguistik, kecerdasan logika-matematika,
kecerdasan visual-spasial, kecerdasan gerak tubuh, kecerdasan interpersonal,
kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.
Bisa jadi si anak lemah dalam mata pelajaran
matematika, namun ia menyukai pelajaran prakarya. Besar kemungkinan juga ia
bisa menjadi seniman kelak. Atau menjadi pengusaha yang menjual barang-barang
kesenian kerajinan tangan atau lainnya. Maka, pikirkanlah ketika anda akan
memberi nilai kepada siswa.
Apa dampak yang akan dirasakan siswa jika anda memberi
nilai rendah, walau nyatanya ia memang mendapat nilai rendah? Menjadi beban si
anak, iya. Karena tidak semua orangtua memahami konsep kecerdasan anak yang 8
jenis diatas. Anak juga bisa tidak percaya diri ketika jam pelajaran dimaksud
dimulai.
Belajar itu yang penting guru mampu menyampaikan ilmu
pengetahuannya pada siswa. Hingga mereka paham tanpa ada beban harus yang
terbaik dari teman-temannya. Bagaimana membuat lingkungan belajar dalam kelas
menyenangkan, sehingga siswa senang mengenyam pelajaran yang berlangsung tanpa
ada rasa takut untuk menyelesaikan ketertinggalan.
Nilailah semua siswa dengan nilai yang baik, bukan
rendah. Untuk menumbuhkan kepercayaan dirinya dalam belajar, juga menghilangkan
kebencian terhadap mata pelajaran tertentu dalam hatinya.
Salam sukses
0 Comments:
Posting Komentar