Jodoh Pasti Bertemu
Sumber gambar: Pixabay |
Kini aku bersimbah resah. Gelisah memikirkannya. Dia yang masih
menjadi seribu tanya di benakku. Siapa dia? Entah kenapa aku begitu
mengkhawatirkannya. Seperti orangtua yang takut akan anak gadisnya yang belum
juga pulang. Kurang lebih begitu aku menggambarkannya.
Kini gelisah itupun kian mereda. Aku tak lagi memikirkan hal-hal
yang tak terduga. Aku tak lagi mau menjejali otak ini dengan praduga tak jelas.
Kini aku pasrah.
Aku yang sedari tadi merebahkan diri, namun tak kunjung berhasil
mengistirahatkan tubuh ini. Padahal esok hari aku akan menghadapi lelah. Apa
aku minta suntik vitamin C saja agar esok
hari bugar? Agh, ada-ada saja. Macam ibu-ibu rewang saja aku ini.
Malu, lah. Anak muda itu masih joss. Staminanya masih kuat. Kalau hanya
seharian duduk dan menerima tamu, apa payahnya?
Katanya, sih begitu. Cerita dari pengalaman beberapa teman
sebaya. Seharian itu bakalan capek. Ya, mungkin cuma aku saja yang
paling lama diantara kami. Bahkan salah satu diantara mereka ada yang anaknya
sudah duduk di bangku TK. Walaupun begitu, sohib tetaplah sohib yang tak bisa
pudar di telan masa.
Terkadang aku risih juga. Obrolan mereka tentang bagaimana
memuaskan pasangannya, pengalaman haru saat istrinya melahirkan, sampai anak
gadisnya yang ngambek ketika akan diantar ke sekolah.
Ah, rasanya aku ingin mencari alasan untuk pergi dari tempat kami
nongkrong. Aku hanya menjadi pendengar budiman saja. Ujung-ujungnya, mereka
akan mengajukan pertanyaan yang paling aku benci sedunia, “Kapan kau nikah,
Bro?” Bumi serasa terbelah.
Tapi hanya pada topik itu saja. Dan itupun sesekali. Kami lebih
suka ngalor ngidulin bisnis. Tentang apa yang paling bisa bikin “cuan”.
Atau membahas track bersepeda yang baru. Atau tentang wanita yang mereka
angankan untuk dipoligami. Hahaha
***
Aku membuka hadiah dari teman-teman. Ya, teman nongkronglah
pastinya. Kalau tetamu yang lain, sudah bisa ditebak. Kalau gak gelas,
mangkok, seprei, atau yang agak besaran dikit, kompor atau dispenser. “Madu
tongkat arab”. ‘Bah, apa pula ini?’ batinku geli. Aku pernah beberapa
kali mendengar nama minuman itu dari mereka. Ya, saat mereka membuka pembahasan
“kerumahtanggaan”.
‘Ini toh wujudnya?’ batinku kembali sambil memegang botol berlabel,
warna kuning emas dengan deskripsi jamu herbal untuk meningkatkan stamina
tubuh. Ada lagi beberapa produk yang lain. Agh, aku malu mengatakannya.
“Dasar kawan-kawan” aku bergeming.
“Mas.. kok senyum-senyum sendiri?” tanya wanita yang sedari tadi
menemaniku membuka bungkus-bungkus kado milik kami. Aku tersadar.
“Oh, enggak! Cuma, emmm.. aku haus. Boleh ambilkan air
minum? Jawabku sekenanya, menyembunyikan barang tersebut. Aku malu begitu juga
dia.
***
Mesin waktu mengabarkan peralihan masa dini hari yang berganti
menjadi pagi. Dan aku masih terjaga. Apakah ini yang dirasakan setiap orang
menjelang membuka “lembaran baru” dalam hidupnya? Walau mata ini kupaksa
terpejam, pikir ini masih kelayapan. Aku masih tak menyangka bisa sampai pada
tahap ini.
Ya, mungkin karena aku menunggunya begitu lama. Aku sudah jengah
dan tak mau lagi berharap. Karena harapan itu selalu berujung kekecewaan. Aku
sempat frustasi saat tak ada lagi teman sebayaku yang belum menikah. Aku juga
mengatakan pada diri sendiri, asal wanita itu mau denganku. Tak lagi terbesit
untuk memilah-milih wanita berdasarkan rupa, harta, nasab dan lainnya. Mungkin
ini yang dikatakan putus asa.
Minder menjadi hal yang tak terelakkan. Apalagi saat lebaran tiba.
Aduh, rasanya ingin minggat dari rumah. Tapi tak mungkin. Aku
mendampingi Ibu selepas Ayah tiada.
Mengantarkannya kesana kemari berkunjung ke rumah sanak keluarga. Yah,
mau tak mau aku harus “menutup telinga rapat-rapat.”
Bukannya aku tak berusaha. Aku bahkan sempat pernah menulis di
dinding salah satu media sosialku, bahwa aku sedang mencari jodoh. Aku juga
tuliskan pekerjaanku, lalu pendidikanku, lalu kendaraan yang aku punya. Terasa
konyol, memang. Merendahkan diri sendiri. Atau mungkin, pikiranku sedang buntu
kala itu. Kata anak sekarang, “gabut.”
Salah satu komentar tertulis, ‘Sabar, kawan. Jodoh itu akan datang
pada saatnya.’ Tapi umur tak mungkin dipending. Berjalan menua dan mengundang
cibiran masyarakat. Stigma negatifpun muncul dikarenakan belum menikah di usia
tiga puluh tujuh tahun. Oh, aku sakit hati.
***
Kami saling beradu pandang. Oh indahnya, mengenalnya serasa membuka
ladang pahala. Ya, melakukan kegiatan intim bersama pasangan yang sah adalah
pahala yang besar. Begitu juga sebaliknya, melakukannya dengan pasangan yang
belum halal adalah dosa besar.
Mungkinpun aku takkan merasakan perasaan yang bercampur aduk ini
kalau aku telah lama mengenalnya. Kami hanya bertemu dua kali. Saat aku meminta
izin pada orangtuanya, dan saat aku membawa keluargaku untuk mengkhitbahnya.
Aku berkata pada diri sendiri, “Darimana aku harus memulainya?”
***
Aku kembali teringat pada komentar temanku. Ya, kalau sudah
saatnya, jodoh itu pasti datang. Sejenak aku beristighfar dalam hati. Aku takut
telah terjerumus pada syirik kecil, karena sempat putus asa. Padahal, rejeki,
jodoh, dan maut adalah rahasia Allah yang sudah ditetapkan bahkan sebelum
manusia itu sendiri dilahirkan.
Mungkin Allah sedang menguji kesabaranku. Ya, tanda-tanda jodoh itu
akan datang sangat kentara. Segala urusan serasa sangat dipermudah. Dari mulai
aku mengumpulkan uang, sampai ada orang yang menjadi ‘mak comblang’. Semua itu
sudah tertata rapi. Subhanallah. Tak dinyana, bertepatan dengan
selesainya aku merehab rumah.
Rasanya aku jadi ingin memberi petuah kepada orang-orang yang saat
ini sedang berselimut resah memikirkan jodoh yang tak kunjung datang. “Ya,
jangan khawatir, kawan! Jodohmu tak akan tertukar, sebagaimana Allah telah
menetapkan rejeki pada setiap orang. Teruslah berdo’a jangan sampai putus asa.
Mungkin Allah masih ingin mendengar rintihan permintaanmu. Atau Ia sedang menguji
hamba-Nya yang beriman” ucap hatiku.
Selesai
0 Comments:
Posting Komentar