Informasi Dan Edukasi

Jumat, 16 Agustus 2019

Dilan 1990 dan Pengaruhnya pada Pendidikan


Sumber gambar: Pixabay

Karakter Dilan yang diperankan oleh Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan, mantan personil cowboy junior ini punya sisi kepahlawanan. Saat Nandan, teman sekelas Milea mencoba untuk mendekatinya, Dilan tidak mau mengganggu mereka.

Itu sifat ksatria, menurut saya, dimana umumnya sifat lelaki usianya itu posesif. Berusaha untuk merebut apa yang dia mau dengan cara apapun. Seperti Beni, pacar Milea di Jakarta, sebelum ia mengenal Dilan. Ia sampai melontarkan kata-kata tidak sopan pada Milea gegara cintanya ditolak.

Baiklah, itu sisi positif dari karakter Dilan. Lalu, bagaimana dengan Dilan yang memukul Pak Suripto gegara ia pindah dari barisan saat upacara hari senin? Secara global, adegan ini tidak baik dipertontonkan. Karena sama saja mengkampanyekan aksi menentang guru, jika dirasa siswa tidak cocok dengan perilaku guru.

Sebaiknya adalah siswa melapor ke komite sekolah atau kepala sekolah atau guru bimbingan konseling. Jika seperti itu prosesnya, maka dapat memberi pelajaran kepada siswa akan prosedur. Namun, saya tidak sepenuhnya menyalahkan siswa disini. 

Sebagai guru, Pak Suripto juga harusnya memahami psikologi remaja usia SMA. Mereka sudah dewasa. Gurunya saja jika dipermalukan di depan umum mungkin tidak terima. Dilan bukanlah anak usia  SD atau SMP yang seutuhnya harus didisiplinkan.

Saya jadi teringat dengan film “twilight”. Latar cerita yang digunakan juga di sekolah tingkat SMA. Sepertinya, sistim pengajaran yang diterapkan disana sudah sejajar dengan tingkat perkuliahan disini.

Bukan karena mereka tidak berseragam sekolah layaknya disini, namun kedisiplinan siswa sudah terbentuk dalam diri mereka masing-masing. Mereka datang untuk belajar. Saat dalam kelas, ketika guru sedang memutarkan video karya seni dari seniman William Shakespeare, Bella dan Edward asyik ngobrol di bangku paling belakang.

Ia ditegur oleh guru hingga diminta untuk menjelaskan apa yang telah diputar dalam video pembelajaran itu. Edward menceritakannya secara gamblang. Selesai, tanpa ada sikap anarkis karena sebuah kesalahan. Mungkin ini dapat dijadikan sebagai sebuah pembelajaran bagi guru. Bahwa menghargai siswa itu penting. Terkhusus bagi siswa tingkat SMA.

Jika dikaitkan dengan kasus “guru budi” yang sempat viral tahun 2018 lalu, ada kesamaan disini. Sama-sama siswa tingkat SMA dan sama-sama melawan guru dikarenakan merasa tidak dihormati dan dipermalukan di depan teman-temannya. Lalu dapatlah ditarik kesimpulan antara beberapa hal yang telah dipaparkan ini.

Perlakukanlah siswa tingkat SMA dengan dewasa, yang tidak terlalu mendisiplinkan mereka. Melainkan dengan diskusi pemecahan masalah atau memberi hukuman yang bersifat pendidikan seperti merangkum sebuah karya sastra atau menyelesaikan membaca satu buku dalam waktu yang singkat, atau menulis sebuah karya sastra yang mana dapat diambil manfaatnya bagi siswa.

Semoga bermanfaat. Salam  

Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Statistik Pengunjung