Sumber gambar: Pixabay |
Dulu saya sering mendengar orang-orang mengatakan, “kalau mau cari pasangan hidup, maka carilah yang dia itu anak tertua atau anak pertengahan dari saudara-saudaranya, agar menutup.”
Ya, anak pertama yang berjodoh dengan anak terakhir itu disebut menutup, menurut mereka orang jawa. Tapi saya menganggap itu hanya rumor. Mereka memberi wejangan
begitu karena saya anak terakhir dalam keluarga. Sejak kecil saya tinggal di
lingkungan suku jawa. Orang tua saya keduanya jawa.
Banyak tata krama atau sopan santun yang diajarkan dalam bentuk wejangan/ nasihat. Semuanya itu baik, hanya cara penyampaiannya saja yang kurang tepat menurut saya.
Misalnya mendoktrin anak dengan kata ‘pantang.’ Contoh, “Pantang kalau makan gak dihabisin, nanti
nasinya menangis”, “pantang menyapu malam-malam, nanti mendapat suami yang
berewokan”, “pantang makan di pintu, nanti tidak mendapat jodoh” dan masih
banyak lainnya yang semisal.
Ungkapan-ungkapan itu mempunyai arti yang baik. Misalnya tidak boleh menyisakan
makanan, berarti mengajarkan untuk tidak mubazir atau menyia-nyiakan makanan. Jangan
menyapu pada malam hari karena malam hari waktunya istirahat. Jangan makan di
pintu karena pintu adalah ruang keluar masuknya orang. Semuanya mengandung arti
yang baik, hanya penyampaiannya saja kurang tepat.
Kata
“pantang” membuat anak terdoktrin. Seolah-olah jika ia melakukan itu maka
ia telah melakukan kesalahan besar, bahkan seperti mendapat dosa besar. Setelah
dewasa saya baru sadar bahwa itu hanyalah nasihat orang tua, tidak lebih.
Begitu juga ketika saya mendengar ada yang berkata “anak terakhir, cocoknya
mendapat jodoh anak yang pertama atau pertengahan dalam keluarga”
Takdir
Tuhan, saya mendapat pasangan hidup yang sama dengan saya, sama-sama anak
terakhir. Barulah saya tahu apa yang disebut dengan konsep “menutup” tersebut.
Ini yang saya pelajari;
Pertama,
anak termuda dalam keluarga bersifat tidak bisa mengambil keputusan sendiri.
Karena dalam keluarga, selalu yang mengambil keputusan adalah anak tertua atau
anak laki-laki yang tertua.
Kedua,
anak termuda bersifat ketergantungan pada keluarga. Ia mendapat banyak kasih
sayang dari saudara-saudaranya yang lebih tua hingga menimbulkan sifat
ketergantungan pada keluarga. Kebutuhannya selalu dibantu oleh sesaudara yang
lebih tua.
Lalu apa hubungannya dengan konsep ‘menutup’ seperti awal saya ceritakan? Anak
tertua atau pertengahan dalam keluarga yang menikah dengan anak termuda, maka
ia bisa mengayomi layaknya memberikan kasih sayang pada adiknya, dan bisa
dengan cepat mengambil keputusan
layaknya mengambil keputusan untuk adik-adiknya.
Begitu
juga sebaliknya, anak termuda yang menikah dengan anak tertua atau pertengahan,
maka ia dapat meminta pendapat saat mengambil keputusan. Inilah yang disebut
‘menutup’ yaitu saling melengkapi atas kekurangan sifat satu sama lain.
Lantas
bagaimana jika keduanya sama-sama anak termuda? Mempunyai ego yang sama,
sama-sama ingin dimengerti, saling menunggu saat mengambil keputusan. Inilah
yang saya alami.
Sekadar
Rumor
Manusia
diberikan akal untuk mengubah suatu yang buruk menjadi baik dan mencegah suatu
yang baik agar tidak menjadi buruk. Inilah yang saya baca dan pelajari dari
kehidupan rumah tangga saya sendiri.
Saya pun berusaha untuk menghilangkan sifat-sifat sebagai anak termuda pada diri
saya. Menjadi seorang suami adalah menjadi seorang pemimpin. Memimpin rumah
tangga artinya mampu mengayomi keluarga. Seorang pemimpin harus mampu mengambil
keputusan tanpa ragu. Tentu dengan pertimbangan yang matang, bukan gegabah.
semoga bermanfaat
0 Comments:
Posting Komentar