Informasi Dan Edukasi

Jumat, 09 Agustus 2019

Konsep "Menutup" dalam Adat Jawa

Sumber gambar: Pixabay

Dulu saya sering mendengar orang-orang mengatakan, “kalau mau cari pasangan hidup, maka carilah yang dia itu anak tertua atau anak pertengahan dari saudara-saudaranya, agar menutup.” 

Ya, anak pertama yang berjodoh dengan anak terakhir itu disebut menutup, menurut mereka orang jawa. Tapi saya menganggap itu hanya rumor. Mereka memberi wejangan begitu karena saya anak terakhir dalam keluarga. Sejak kecil saya tinggal di lingkungan suku jawa. Orang tua saya keduanya jawa.

Banyak tata krama atau sopan santun yang diajarkan dalam bentuk wejangan/ nasihat. Semuanya itu baik, hanya cara penyampaiannya saja yang kurang tepat menurut saya. 

Misalnya mendoktrin anak dengan kata ‘pantang.’ Contoh, “Pantang kalau makan gak dihabisin, nanti nasinya menangis”, “pantang menyapu malam-malam, nanti mendapat suami yang berewokan”, “pantang makan di pintu, nanti tidak mendapat jodoh” dan masih banyak lainnya yang semisal.

Ungkapan-ungkapan itu mempunyai arti yang baik. Misalnya tidak boleh menyisakan makanan, berarti mengajarkan untuk tidak mubazir atau menyia-nyiakan makanan. Jangan menyapu pada malam hari karena malam hari waktunya istirahat. Jangan makan di pintu karena pintu adalah ruang keluar masuknya orang. Semuanya mengandung arti yang baik, hanya penyampaiannya saja kurang tepat.

Kata “pantang” membuat anak terdoktrin. Seolah-olah jika ia melakukan itu maka ia telah melakukan kesalahan besar, bahkan seperti mendapat dosa besar. Setelah dewasa saya baru sadar bahwa itu hanyalah nasihat orang tua, tidak lebih. Begitu juga ketika saya mendengar ada yang berkata “anak terakhir, cocoknya mendapat jodoh anak yang pertama atau pertengahan dalam keluarga”

Takdir Tuhan, saya mendapat pasangan hidup yang sama dengan saya, sama-sama anak terakhir. Barulah saya tahu apa yang disebut dengan konsep “menutup” tersebut. Ini yang saya pelajari;

Pertama, anak termuda dalam keluarga bersifat tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Karena dalam keluarga, selalu yang mengambil keputusan adalah anak tertua atau anak laki-laki yang tertua.

Kedua, anak termuda bersifat ketergantungan pada keluarga. Ia mendapat banyak kasih sayang dari saudara-saudaranya yang lebih tua hingga menimbulkan sifat ketergantungan pada keluarga. Kebutuhannya selalu dibantu oleh sesaudara yang lebih tua.

Lalu apa hubungannya dengan konsep ‘menutup’ seperti awal saya ceritakan? Anak tertua atau pertengahan dalam keluarga yang menikah dengan anak termuda, maka ia bisa mengayomi layaknya memberikan kasih sayang pada adiknya, dan bisa dengan  cepat mengambil keputusan layaknya mengambil keputusan untuk adik-adiknya.

Begitu juga sebaliknya, anak termuda yang menikah dengan anak tertua atau pertengahan, maka ia dapat meminta pendapat saat mengambil keputusan. Inilah yang disebut ‘menutup’ yaitu saling melengkapi atas kekurangan sifat satu sama lain.

Lantas bagaimana jika keduanya sama-sama anak termuda? Mempunyai ego yang sama, sama-sama ingin dimengerti, saling menunggu saat mengambil keputusan. Inilah yang saya alami.

Sekadar Rumor
Manusia diberikan akal untuk mengubah suatu yang buruk menjadi baik dan mencegah suatu yang baik agar tidak menjadi buruk. Inilah yang saya baca dan pelajari dari kehidupan rumah tangga saya sendiri.

Saya pun berusaha untuk menghilangkan sifat-sifat sebagai anak termuda pada diri saya. Menjadi seorang suami adalah menjadi seorang pemimpin. Memimpin rumah tangga artinya mampu mengayomi keluarga. Seorang pemimpin harus mampu mengambil keputusan tanpa ragu. Tentu dengan pertimbangan yang matang, bukan gegabah.

semoga bermanfaat

Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Statistik Pengunjung