Sumber gambar: Pixabay |
Ujian
semester ganjil tengah berlangsung. Mengolah nilai ‘mentah’ menjadi nilai
‘jadi’ tentu bukanlah hal yang mudah bagi guru. Melalui proses pertimbangan
yang matang. Nilai ‘jadi’ tersebut adalah gabungan dari nilai akademis,
keaktifan di sekolah dalam berbagai kegiatan, dan kepribadian, baik terhadap
teman maupun guru.
Seketika
saya terhenyak melihat jawaban salah satu murid saya ketika memeriksa lembar
jawaban ujian mereka. Dalam soal yang kami susun terdapat satu soal
kepribadian. Tujuannya agar siswa tidak hanya dinilai secara akademis.
Keseimbangan antara penilaian sikap dan akademis inilah yang dituntut oleh
kurikulum tiga belas saat ini.
Pertanyaannya
begini, ‘siapakah teman yang paling disukai dan tidak disukai di dalam kelas?’ lantas
ia menjawab, ‘kita disuruh agama untuk saling menyayangi semua teman dan
dilarang untuk membenci teman.’ Luar biasa. Ia duduk di kelas tujuh.
Harapan awal atas pertanyaan tersebut adalah untuk mengetahui siapa siswa yang
mempunyai sikap baik, dan tidak baik dalam bersikap.
Memetakan
kepribadian siswa dalam kelas dapat memudahkan guru mengambil sikap terhadap
siswa. Juga bagi siswa yang di ‘cap’ kurang santun oleh teman-temannya, akan
dikomunikasikan kepada orang tuanya saat pengambilan rapor.
Sekolah
adalah fasilitator yang butuh kerjasama dari orang tua siswa. Maka salah jika
orang tua siswa menyerahkan sepenuhnya anak didik pada sekolah tanpa mau tahu
tentang perkembangan anaknya sendiri. Kepintaran akademis masih belum sempurna
tanpa sikap yang baik.
Saya
sendiri sebagai guru lebih menyukai siswa yang bersikap santun walau kemampuan
akademisnya biasa saja, daripada siswa yang pintar tapi sikapnya tidak santun.
Karena sikap santun dapat menggiringnya untuk memperbaiki proses belajar yang
lebih baik. Namun siswa pintar tanpa santun hanya akan menimbulkan masalah.
Saya
juga menemukan jawaban yang menakjubkan dari salah satu siswa pada soal uji
pengetahuan sosial. Pertanyaannya begini, ‘mengapa sekolah kita masih belum
berkembang?’ maka iapun menjawab ‘karena selama ini yang menjaga kebersihan
hanya petugas kebersihan’.
Jika
kita pikir lebih jauh, jawaban ini merujuk pada kesadaran diri. Ya, jika saja
setiap siswa mau peduli dengan lingkungan sekolah, maka sekolah akan punya
nilai lebih. Bisa jadi sekolah akan mendapat penghargaan dari dinas pendidikan
kota sebagai sekolah terbersih sekota madya.
Jika
itu terjadi, maka sekolah tersebut mempunyai nilai jual yang tinggi. Bahwa
sekolah mampu menyadarkan siswanya untuk sadar lingkungan bersih. Dua jawaban siswa
yang sederhana. Namun punya nilai lebih dari teman lainnya yang mungkin
jawabannya sama persis dengan yang tertulis di buku. Ya, nalar dan daya pikir
yang objektif.
Lantas,
bagaimana guru mengapresiasi jawaban siswa tersebut? Apakah disamakan dengan
jawaban siswa yang sesuai dengan yang ada dibuku? Atau malah disalahkan karena
tidak sesuai dengan pembahasan yang ada di buku?
Maka, jika nilai maksimal satu soal essay bernilai lima, siswa dengan jawaban tersebut layak mendapat nilai lima plus. Karena ini diluar dari hal yang biasa. Itulah bentuk apresiasi terhadap jawaban siswa yang objektif. Semoga bermanfaat
Maka, jika nilai maksimal satu soal essay bernilai lima, siswa dengan jawaban tersebut layak mendapat nilai lima plus. Karena ini diluar dari hal yang biasa. Itulah bentuk apresiasi terhadap jawaban siswa yang objektif. Semoga bermanfaat
0 Comments:
Posting Komentar