Sumber gambar: Pixabay |
Pesan merupakan amanah dan tanggung jawab, sebelum pesan itu tersampaikan. Suatu saat sebuah pertanggungjawaban itu akan dipertanyakan oleh pemberi amanah.
Dahulu, pesan ditulis dalam secarik kertas yang dikenal sebagai surat, lalu
dikirim melalui jasa pos. Kini tidak perlu menunggu hingga berhari untuk
menyampaikan pesan dalam jarak jauh. Hanya hitungan detik saja pesan sudah
tersampaikan tanpa batas jarak.
Media
penyampai pesan kini jamak. Media sosial seolah menjadi suatu keharusan bagi
kaum milenial untuk memilikinya. Tidak kenal usia, tidak kenal kelas. Bahkan insan belum mumayyiz pun sudah punya akun media sosial (yang
diaktifkan oleh orangtuanya.)
Betapa besar pengaruh sebuah pesan.
Percayakah bahwa sebuah rangkaian tulisan mampu mengubah sikap banyak orang?
Contoh
sederhana, teks proklamasi yang dibuat oleh presiden Soekarno mampu mengubah
keadaan Indonesia yang sebelumnya terjajah menjadi merdeka. Hanya pesan yang
tertulis dalam secarik kertas.
Pesan itu mengandung sebuah kekuatan besar yang
dapat mengubah sebuah peradaban maupun pola pikir orang yang membacanya.
Dengan melakukan aksi salin tempel dari sumber pesan, dalam waktu singkat pesan itu telah tersampaikan kepada
ribuan bahkan jutaan orang. Masalahnya, ada banyak keperluan orang yang
mengirim pesan.
Baik itu keperluan yang bersifat positif maupun negatif. Pelaku
kriminal dengan leluasa menggunakan pesan’berantai’ untuk menghipnotis
pembacanya hingga membuat panik.
Masih
ingat dengan kasus “mama minta pulsa?” Pesan yang "mengaku-ngaku" mamanya
sekarang sedang berada di kantor polisi dan butuh untuk menelepon seseorang.
Siapa yang tidak panik jika mamanya saat itu sedang berada di kantor polisi?
Keadaan tersebutlah yang dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan. Kini tak terdengar
lagi berita “mama minta pulsa”, namun ada banyak modus serupa yang beredar saat
ini.
Lantas bagaimana sikap kita terhadap pesan ‘berantai’ yang kita
terima?
Pertama,
teliti kebenarannya. Mesin pencari informasi di internet telah tersistem untuk
menyaring berita berdasarkan viewer terbanyak dan situs yang legal. Jika
berita itu muncul pada urutan teratas, berarti telah banyaklah orang yang
mengakses berita itu.
Bukalah beberapa situs yang menayangkan berita
itu. Baca dengan seksama, jangan sepenggal-sepenggal. Baca juga komentar warga net yang telah membaca berita itu. Barulah dapat dirumuskan kebenaran
berita itu.
Jika memang berita itu tidak jelas sumber maupun kebenarannya,
sebaiknya tidak perlu di bagikan ulang. Karena sama saja membagikan kebohongan.
Kedua,
pertimbangkan efek bagi ulang. Jika telah diketahui kebenaran dari pesan
‘berantai’ tersebut, pertimbangkan lagi apakah baik untuk di bagikan atau
tidak. Misalnya, berita penculikan anak di kereta api yang pernah heboh.
Mungkin anda langsung berpikir bahwa berita ini baik, agar
masyarakat dapat waspada. Sama, saya juga pernah berpikir begitu awalnya. Saya sempat googling
berita itu, dan dari beberapa situs yang saya baca, masih belum jelas
keaslian beritanya.
Bukankah ini dapat menimbulkan ketakutan pada masyarakat. Efeknya
adalah sikap buruk sangka yang ditujukan pada orang lain.
Ketiga,
berbagi ulang pada grup media sosial yang sesuai. Tidak semua orang menyukai berita terkait hal tertentu. Oleh sebab itu ada beberapa grup di media
sosial sesuai kriteria masing-masing pengguna.
Jangan terburu membagi info yang
anda dapat dari pesan ‘berantai’ sebelum diketahui kebenarannya.
Jaga keakraban
komunikasi sesama pengguna dengan bijak membagi ulang pesan ‘berantai.’ Pilihlah
grup yang sesuai, yang tidak berdampak negatif setelah anda bagikan ulang pesan
‘berantai’ tersebut.
Waspada
itu perlu, tapi tidak sampai jadi takut. Rasa takut dapat
menggilas kepercayaan diri seseorang. Bukankah rasa percaya diri itu juga
diperlukan?
Bijaklah menanggapi sebuah pesan ‘berantai’ dengan mempertimbangkan
efek yang akan terjadi jika pesan itu diteruskan. Semoga bermanfaat.
0 Comments:
Posting Komentar