Informasi Dan Edukasi

Senin, 09 September 2019

Menelisik Peran Kurikulum 2013 Terhadap Siswa

Sumber gambar: Pixabay

Pola pendidikan siswa yang “mendikte” kini harus segera di tinggalkan. Mendikte tidak merangsang perkembangan karakter siswa. Mereka hanya akan menunggu tanpa terpacu untuk berpikir secara inisiatif. Pemerintah telah menggalakkan pendidikan berbasis kurikulum 2013 atau yang sering disebut dengan K-13 sejak enam tahun yang lalu.

Walau masih beberapa sekolah perintis saja yang baru menerapkannya. Kedepannya pemerintah akan menyamaratakan pendidikan di Indonesia untuk menganut sistem pendidikan K-13 ini. Kurikulum yang lebih menitikberatkan pada pengembangan karakter siswa ini menuntut guru untuk bisa memetakan kecenderungan siswa terhadap beberapa pelajaran di sekolah.

Juga mengharuskan pendidik agar lebih selektif lagi memberi bahan ajar kepada siswa dengan memilih materi yang memacu siswa untuk memikirkan, memilih, mempertimbangkan dan memutuskan. Siswa dituntut untuk aktif memberikan komentar atau mengaplikasikannya langsung dalam tindakan sehari-hari. Selanjutnya guru akan memantau dan melakukan penilaian tersendiri terhadap perkembangan karakter siswa.

Seperti orang tua yang memiliki anak balita, pasti akan selalu berharap ada perkembangan motorik pada anaknya dari hari ke hari. Misalnya, si anak sudah bisa mengatakan mama atau papa, atau mulai melangkahkan kaki untuk berjalan walau masih terbata, atau bisa mendorong benda atau yang lainnya.

Ada rasa bahagia yang terpancar dari wajah sang orang tua kala anaknya kian hari terlihat perkembangan motoriknya. Begitulah penerapan kurikulum 2013 ini di sekolah. Guru sebagai pengganti orang tua di sekolah, layaknyalah berharap akan perkembangan karakter positif siswa dari hari ke hari. Tidak hanya monoton dengan ‘menjejali’ banyak pengetahuan tanpa ada penerapannya.

Fokus pada perkembangan karakter anak didik adalah tujuan diterapkannya kurikulum 2013 ini. Mengenali kepribadian siswa juga salah satu hal yang dituntut disini. Tidak semua siswa “pembuat onar” itu dilabel buruk. Bisa jadi ia buruk dalam akademis namun ia adalah salah satu orang yang paling disukai oleh teman-temannya.

Latar belakang masalah siswa beragam. Bisa jadi mereka adalah salah satu korban broken home yang kini kedua orang tuanya masing-masing telah menikah kembali. Iapun tinggal bersama kakek dan neneknya. Ia hanya mendapat kasih sayang dari kakek neneknya. Jiwanya tertekan saat ia melihat keharmonisan temannya berkumpul dengan kedua orang tuanya.

Kakek neneknya begitu memanjakannya. Memberikan setiap apa yang ia minta tanpa pernah membatasinya. Ia tidak pernah di pukul dan dimarahi walau sebatas memberi pelajaran. Bisa jadi ini latar belakang siswa melawan kepada gurunya kala sang guru menerapkan kedisiplinan sekolah.

Yang ia butuhkan adalah adalah sosok orang tua yang dapat menentramkannya. Dalam kasus ini sebaiknya guru berperan sebagai orang tua kandungnya dalam memberikan nasihat, mendengarkan ceritanya dan mengarahkannya layaknya orang tua kandung baginya. Ia tidaklah sama seperti anak-anak lainnya yang mendapat limpahan kasih sayang dari orang tuanya.

Saya pikir kita setuju untuk tidak cepat menghakimi siswa kala ia tengah berbuat onar. Melabel siswa tersebut nakal atau tidak bisa diatur tanpa pernah tahu latar belakang siswa tersebut sebelumnya, baik itu kondisi keluarganya maupun jiwanya. Semoga bermanfaat.
Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Statistik Pengunjung