Sumber gambar: Pixabay |
Pola pendidikan siswa yang “mendikte” kini harus segera di tinggalkan. Mendikte tidak merangsang perkembangan karakter siswa. Mereka hanya akan menunggu tanpa terpacu untuk berpikir secara inisiatif. Pemerintah telah menggalakkan pendidikan berbasis kurikulum 2013 atau yang sering disebut dengan K-13 sejak enam tahun yang lalu.
Walau
masih beberapa sekolah perintis saja yang baru menerapkannya. Kedepannya
pemerintah akan menyamaratakan pendidikan di Indonesia untuk menganut sistem
pendidikan K-13 ini. Kurikulum yang lebih menitikberatkan pada pengembangan
karakter siswa ini menuntut guru untuk bisa memetakan kecenderungan siswa
terhadap beberapa pelajaran di sekolah.
Juga
mengharuskan pendidik agar lebih selektif lagi memberi bahan ajar kepada siswa
dengan memilih materi yang memacu siswa untuk memikirkan, memilih,
mempertimbangkan dan memutuskan. Siswa dituntut untuk aktif memberikan komentar
atau mengaplikasikannya langsung dalam tindakan sehari-hari. Selanjutnya guru
akan memantau dan melakukan penilaian tersendiri terhadap perkembangan karakter
siswa.
Seperti
orang tua yang memiliki anak balita, pasti akan selalu berharap ada
perkembangan motorik pada anaknya dari hari ke hari. Misalnya, si anak sudah
bisa mengatakan mama atau papa, atau mulai melangkahkan kaki untuk berjalan
walau masih terbata, atau bisa mendorong benda atau yang lainnya.
Ada
rasa bahagia yang terpancar dari wajah sang orang tua kala anaknya kian hari
terlihat perkembangan motoriknya. Begitulah penerapan kurikulum 2013 ini di
sekolah. Guru sebagai pengganti orang tua di sekolah, layaknyalah berharap akan
perkembangan karakter positif siswa dari hari ke hari. Tidak hanya monoton
dengan ‘menjejali’ banyak pengetahuan tanpa ada penerapannya.
Fokus
pada perkembangan karakter anak didik adalah tujuan diterapkannya kurikulum
2013 ini. Mengenali kepribadian siswa juga salah satu hal yang dituntut disini.
Tidak semua siswa “pembuat onar” itu dilabel buruk. Bisa jadi ia buruk dalam
akademis namun ia adalah salah satu orang yang paling disukai oleh
teman-temannya.
Latar
belakang masalah siswa beragam. Bisa jadi mereka adalah salah satu korban broken
home yang kini kedua orang tuanya masing-masing telah menikah kembali.
Iapun tinggal bersama kakek dan neneknya. Ia hanya mendapat kasih sayang dari
kakek neneknya. Jiwanya tertekan saat ia melihat keharmonisan temannya berkumpul
dengan kedua orang tuanya.
Kakek
neneknya begitu memanjakannya. Memberikan setiap apa yang ia minta tanpa pernah
membatasinya. Ia tidak pernah di pukul dan dimarahi walau sebatas memberi
pelajaran. Bisa jadi ini latar belakang siswa melawan kepada gurunya kala sang
guru menerapkan kedisiplinan sekolah.
Yang
ia butuhkan adalah adalah sosok orang tua yang dapat menentramkannya. Dalam
kasus ini sebaiknya guru berperan sebagai orang tua kandungnya dalam memberikan
nasihat, mendengarkan ceritanya dan mengarahkannya layaknya orang tua kandung
baginya. Ia tidaklah sama seperti anak-anak lainnya yang mendapat limpahan
kasih sayang dari orang tuanya.
Saya pikir kita setuju untuk tidak cepat menghakimi siswa kala ia tengah berbuat onar. Melabel siswa tersebut nakal atau tidak bisa diatur tanpa pernah tahu latar belakang siswa tersebut sebelumnya, baik itu kondisi keluarganya maupun jiwanya. Semoga bermanfaat.
Saya pikir kita setuju untuk tidak cepat menghakimi siswa kala ia tengah berbuat onar. Melabel siswa tersebut nakal atau tidak bisa diatur tanpa pernah tahu latar belakang siswa tersebut sebelumnya, baik itu kondisi keluarganya maupun jiwanya. Semoga bermanfaat.
0 Comments:
Posting Komentar