Sumber gambar: Pixabay |
Setiap
orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Maaf, seorang pemulung
sekalipun tidak ingin kelak anaknya menjadi pemulung juga. Yang ia inginkan
adalah kelak anaknya dapat melebihinya, seperti menjadi bos penadah
barang-barang bekas atau yang lainnya.
Orangtua
yang bergelar sarjana, tentu menginginkan anaknya bisa menempuh pendidikan yang
lebih darinya. Minimal dapat menamatkan anaknya menjadi master, bukan lagi
sarjana. Itulah gambaran kecil akan besarnya harapan orangtua terhadap anaknya.
Namun tidak semua apa yang di inginkan itu sesuai dengan kenyataan.
Bisa
saja kemauan anak tak sejalan dengan apa yang diinginkan orangtua. Hal inilah
yang memicu terjadinya pemaksaan kehendak. Tindakan ini dapat menjadikan sang
anak memikul beban berat. Anak akan merasa tertekan dengan keinginan orangtua.
Nah, sebagai orang tua perlu mengambil tindakan yang bijaksana. Bukan membesarkan
keinginannya sendiri sementara sang anak tidak mampu menjalaninya.
Terinspirasi
dari cerita teman seprofesi dengan saya. Saat itu pengambilan rapor siswa harus
diambil oleh orangtuanya. Dimaksudkan agar orangtua dan guru dapat berbagi
informasi tentang anaknya. Sekolah itu mempunyai program unggulan agar anak
didiknya menjadi penghapal Qur’an. Mereka membincangkan perkembangan anaknya;
pencapaian apa yang sudah diperoleh dan kemunduran apa yang tengah dialaminya.
Singkat
cerita, orang tuanya bersikeras ingin menjadikan anaknya seorang penghapal
Qur’an. Anaknya kerap mendapat hukuman akademis dari orang tuanya jika ia tidak
mencapai target hapalannya di sekolah. Padahal latar belakang orang tuanya
sendiri bukanlah seorang penghapal Qur’an. Ia tidak tahu bagaimana lelahnya
menjadi penghapal. Ia tidak mengerti saat rasa bosan datang ketika proses
menghapal. Yang ia tahu hanya anaknya harus menjadi penghapal Qur’an.
Tentu
ini bukanlah hal yang mudah bagi sang anak. Apalagi ia kerap mendapat hukuman
akademis di rumah saat tidak menyetorkan hapalannya kepada pembimbing di
sekolah. Alhasil, sang anak menjadi banyak murung di kelas, terdiam dan
tidak punya semangat untuk menghapal. Karena ia mempunyai keterbatasan dalam
menghapal, begitu kata guru pembimbingnya.
Mengambil
hikmah dari cerita tersebut, memang baik memiliki harapan menjadi yang terbaik
untuk anaknya. Tapi, haruskah memaksanya melakukan apa yang di luar batas
kemampuannya? Ini tidak adil tentunya. Akhirnya guru pembimbing hapalannya
tidak terlalu memaksanya. Anak itu hanya memberikan hapalan semampunya.
Jika
anak itu tidak memberikan hapalannya, guru pembimbingnya tidak memarahinya. Ia
tahu bahwa sang anak sudah cukup stress dengan tuntutan orang tuanya. Guru
pembimbingnya hanya bisa memberi semangat untuk menghapal agar dapat melampaui batas
kemampuannya.
Mendidik
juga perlu menyesuaikan tingkat kemampuan anak didik. Itulah mengapa ada
jenjang pendidikan. Mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Begitu
juga pada jenjang pendidikan sekolah dasar, terdapat tingkatan kelas mulai dari
kelas satu hingga enam. Artinya, menyalurkan ilmu pengetahuan itu secara
bertahap. Keberhasilan membutuhkan proses.
Orangtua
perlu menyadari ini demi perkembangan mental anak. Pendidikan tidak bisa
dipaksakan karena keinginan pribadi semata. Mereka bukanlah robot yang dengan program
tertentu maka iapun akan berjalan sesuai program yang dibuat untuknya. Anak-anak
juga punya rasa lelah, jenuh, bosan, ingin bermain dengan teman-temannya dan
lain sebagainya. Seyogyanyalah orangtua memberi panutan bagi anak. Menjadi
sosok pahlawan yang dikaguminya, bukan seperti monster yang ditakutinya.
Komunikasi itu penting untuk menjaga
keseimbangan harapan dan kenyataan. Ada baiknya untuk menyesuaikan
pendidikannya dengan ketertarikannya. Mengembangkan bakatnya dengan pendidikan
yang terarah. Tanpa harus mengurangi pendidikan agamanya. Namun tetap dengan
pendidikan dalam batas kemampuannya. Tidak melebihi batas kemampuannya. Mulailah
dari diri sendiri menjadi figur bagi sang anak. Semoga tulisan ini dapat
menginspirasi orang tua dalam memilihkan pendidikan terbaik bagi sang anak.
Salam
0 Comments:
Posting Komentar