Sumber gambar: Pixabay |
Tanggal
25 Nopember selalu menjadi tanggal bersejarah bagi para guru untuk menerima
penghormatan khusus dari para muridnya. Menyanyikan lagu hymne guru,
menyematkan rangkaian kecil bunga di dada atau memberi sebuah bingkisan manis
yang berkesan. Benarkah ini berasal dari keikhlasan siswa memberi, atau ada
unsur suruhan dari pihak sekolah? Nyamankah siswa dengan kegiatan memberi
penghormatan ini?
Semoga
apa yang saya paparkan berikut tidak terjadi pada para generasi milenial saat
ini. Saya masih ingat ketika saya duduk di bangku sekolah dasar kelas 5. Itu
tahun 1996. Satu hari sebelum hari guru, wali kelas kami menyarankan agar besok
membawa kado untuk guru. Tidak harus mahal, yang penting ada.
Saya
bukanlah berasal dari keluarga yang berkecukupan. Bisa sekolah saja sudah
bersyukur. Saya sampaikan saran guru saya pada orang tua saya. Saya berharap orang
tua saya mau menyiapkan kado hari guru itu. Namun harapan itu jauh dari
kenyataan. Hal itu malah menyusahkan orang tua saya.
Akhirnya
saya tidak pergi ke sekolah karena malu dengan teman-teman saya yang membawa
kado. Tidak wajib sebenarnya, tapi anak seusia saya kala itu akan mendapat
ejekan dari teman-teman yang lain jika tak membawa kado. Dan jikapun saya
datang, mungkin hanya saya sendiri yang tidak membawa kado.
Beranjak
ke jenjang pendidikan menengah pertama. Hari guru memang tidak dianjurkan
membawa kado, tapi ada kutipan khusus yang disebut ‘uang hari guru’. Seminggu
sebelum hari guru, osis atau wali kelas sudah mengumumkan adanya pembayaran
‘uang hari guru’ agar dapat disampaikan pada orang tua.
Pembayarannya
bisa dicicil. Tiba hari H berlangsung, guru dan siswa sama-rata. Ya, guru
mendapat hadiah yang sama. Dan siswa di sama-ratakan membayar iuran tersebut.
Nah, bagaimana dengan sebagian siswa yang kondisinya pas-pasan hanya mendapat
jatah uang jajan setiap harinya?
Apakah
harus memangkas jatah uang jajannya? Bagaimana pula dengan orang tua yang
merasa keberatan? Ini jarang tersampaikan ke pihak sekolah. Bahkan setelah
berlalunya hari gurupun, ‘uang hari guru’ itu tetap masih di tagih bagi yang
belum lunas.
Dengan
bahasa kasar saya simpulkan bahwa mengutip ‘uang hari guru’ kepada siswa itu
adalah tindakan mengemis. Kita kembali pada makna memperingati hari guru.
Menghargai dan menghormati guru atas kinerjanya mencerdaskan anak bangsa. Hal
ini selaras dengan tulisan saya sebelumnya ‘bolehkahguru terima hadiah dari siswa’?
Saya pikir kita sepakat bahwa memaknai ungkapan
‘guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa’ dengan arti guru yang mendidik anak
didik tidak mengharap pamrih kecuali gaji yang menjadi haknya. Semoga
bermanfaat.
0 Comments:
Posting Komentar