Sumber gambar: Pixabay |
Semakin
berkembangnya kemajuan teknologi, semakin cepat pula informasi tersebar. Kini
hanya dalam hitungan detik saja, kejadian luar biasa diluar kota bahkan diluar
negeri dapat diketahui. Inilah salah satu efek dari pesatnya perkembangan
informasi teknologi, termasuk media sosial. Tapi media sosial juga punya efek
negatif. Yaitu dapat menyebarkan informasi bohong alias berita palsu jika
digunakan oleh orang yang tidak bertanggungjawab.
Contohnya
seperti mengatasnamakan agama supaya pembaca percaya dan mau menyebarkannya
kembali. Ini penting bagi praktisi agama untuk menyaring informasi.
Istilah-istilah keislaman tidak terlepas dari bahasa Arab. Dengan memiliki
pondasi ilmu bahasa arab yang baik, seorang muslim akan mampu menyaring
informasi agama yang benar.
Dahulu
tulisan dalam mushaf tidak berbaris dan tidak bertitik. Orang arab bisa
membacanya karena itu memang bahasa mereka. Pada masa tabiin (para
sahabat Rasul yang masih hidup setelah beliau wafat) barulah mushaf itu diberi
baris dan titik agar banyak umat Islam yang non-Arab pun bisa mempelajarinya.
Begitu juga tajwid atau aturan membaca Alquran yang telah dirumuskan. Tujuannya
untuk menyeragamkan cara membaca Alquran.
Salah
membaca baris dalam bahasa arab dapat mengubah makna dari kalimat tersebut.
Misalkan kata tersebut seharusnya dibaca dengan kasrah (baris bawah)
tapi malah dibaca dengan fathah (baris atas). Peletakan baris dapat
mengubah posisi kata tersebut dalam tata bahasa arab, misalnya dari pelaku
menjadi objek atau malah sebaliknya.
Dari
sinilah lahir ilmu tata bahasa Arab yang dikenal dengan nahwu dan shorof.
Ilmu yang mempelajari perubahan bentuk kata beserta peletakan baris pada kata
sesuai posisinya, baik menjadi pelaku, kata kerja atau objek.
Namun
harapan itu masih jauh dari fakta. Pengalaman saya mengajar privat mengaji ke
rumah-rumah menyimpulkan bahwa masih sedikit sekali orang tua yang mau mempedulikan
anaknya untuk belajar mengaji, khususnya belajar ilmu bahasa Arab. Mereka lebih
menomorsatukan belajar bahasa asing walaupun biaya belajar yang harus dibayar
tiga kali lipat dari biaya belajar mengaji atau ilmu bahasa arab.
Jika
begini, maka lambat laun akan punahlah kecintaan anak-anak untuk mempelajari
agama. Padahal ilmu agama itu adalah pondasi mereka dalam bersosialisasi.
Seorang akan lebih dihargai karena tingkah lakunya yang beragama dari pada
keilmuannya yang tinggi namun tidak berakhlak sesuai agama.
Dalam
menuntut ilmu, hendaklah mempelajari bagaimana adab atau bersikap sebagai
seorang penuntut ilmu. Diantaranya adalah menghormati guru dan
bersungguh-sungguh. Sederhananya,
seorang siswa membutuhkan guru untuk menimba ilmunya dan pengalamannya. Jika
tidak ada sikap baik dan hormat dari sang murid, bagaimana seorang guru mau
berbagi pengetahuannya.
Sebaiknyalah
orang tua membekali anak didik dengan pendidikan agama. Jangan hanya
mengharapkan pelajaran agama dari sekolah saja. Karena alokasi waktunya hanya
dua jam pelajaran dalam seminggu. Jika banyak orangtua yang sadar dengan konsep
ini, maka akan berkuranglah jumlah muslim yang buta aksara Alquran.
Dikutip dari laman republika.co.id, Rabu (17
Januari 2018) sebanyak 65 persen masyarakat Indonesia buta huruf Alquran
berdasarkan hasil riset Institul Ilmu Alquran (IIQ). Jumlah persentase yang
melebihi setengah itu menimbulkan keprihatinan.
Menyadarkan para orangtua akan pentingnya belajar agama adalah salah
satu solusi mengentaskannya. Semoga bermanfaat
0 Comments:
Posting Komentar