Ilustrasi gambar: Pixabay |
Malam semakin larut tapi ia masih mengurus berkas persyaratan kuliah ke Madinah Al Munawwarah. Satu malam ini hampir lima kali ia bolak-balik ke rumah Ustad Awwal untuk menerjemahkan surat rekomendasi ke dalam bahasa arab.
“Besar kemungkinan antum diterima, Zi. Biasanya mereka memang mencari calon mahasiswa yang berasal dari desa terpencil dan bisa bahasa Arab walau sedikit.” ujarnya pada Fauzi memberi semangat.
“Zi?”
“Oh, ya. Ehm.. sudah selesai, Ustad?” jawabnya gelagap.
“Apa antum kurang sehat?” tanya Ustad khawatir. Ia masih membolak-balik berkas itu.
“Istirahat saja dulu, Zi. Tubuh antum juga punya hak untuk itu. Jika memang ditakdirkan untuk lulus, rejeki itu takkan kemana..”
Udara malam itu agak panas. Ia keluar ke halaman asrama untuk sekadar mencari angin segar. Tak dapat dipungkiri bahwa pikirnya tak lagi fokus mempersiapkan diri menghadapi ujian masuk kuliah ke Madinah. Khayalnya sedang mengitar pada sebuah ingatan..
Saat itu ia harus cepat pulang ke Nias karena kakak laki-lakinya tengah berada di Rumah Sakit. Pukul delapan malam, taxi online menjemputnya di depan asrama. Pamannya yang mengatur agar ia cepat sampai tujuan.
Jarak tempuh satu hari satu malam itu membuat tubuhnya lelah. Kapal itu harus menyeberangi lautan Sibolga untuk dapat sampai ke pulau Nias.
Bang Udin masih tidur bersanding cairan infus yang tergantung di sebelah kirinya. Sesekali ia mengigau mengucap kata “Ibu.” Kedua orang tua mereka telah meninggal.
“Kata dokter, Bang Udin mengalami depresi berat.” jelas pamannya.
Semakin hari kondisi kesehatannya memburuk. Tapi hari itu ia tersadar sebentar.
“Aku dimana?” tanya Bang Udin yang sedang mencoba membuka matanya.
“Tenang saja, Bang, jangan bergerak dulu..”
“Ibu, Zi, Ibu..”
“Iya, Bang, Ibu kenapa?”
“Zi, tadi abang bermimpi bertemu dengan ibu, di taman yang indah, wangi dan banyak sekali bunga bermekaran. Tapi kenapa abang kembali menjadi anak kecil di sana? Ibu mengajakku bermain, berlari-lari di sela gang dalam taman itu. Lalu tetiba abang sudah berada di ruangan ini. Ada satu pesan yang Ibu bilang sebelum kami berpisah, dia bilang kalau besok mau menjemputku lagi untuk bermain di taman itu” ucapnya setengah lemas.
Entah ada kekuatan dari mana sehingga ia bisa berbicara seperti orang sehat. Fauzi heran.
“Zi, maafkan, Abang! Abang mungkin gak pantas menggantikan posisi ayah menjadi kepala rumah tangga setelah ayah tidak ada. Maafkan abang, Zi..”
Harus bagaimana Fauzi menghiburnya. Ia juga sedih. Tapi ia harus gembira untuk menghiburnya.
“Gak, Bang. Abang gak salah apa-apa. Abang tahu, sebentar lagi aku akan kuliah di luar negeri. Di Madinah, Bang.. aku akan menjadi sarjana seperti yang dulu Ayah inginkan. Masih ingat, kan, Bang? Ayah ingin salah satu dari kita ada yang menjadi sarjana..” Hibur Fauzi sebisanya. Ia paksakan untuk melebarkan sudut-sudut bibirnya, mencerahkan wajahnya dan membesarkan kelopak matanya agar terlihat tak sedih.
Pamannya datang untuk menjemputnya.
“Zi, kamu harus balik ke Medan. Waktu yang Paman sepakati dengan pihak kampus hanya tiga hari saja. Karena kalian sedang ujian..”
“Tapi, Paman, aku gak bisa ninggalin Bang Udin begini. Aku ikut ujian susulan saja nanti..”
“Zi, sebenarnya kamu hanya diberi jatah satu hari saja karena masih ujian. Tapi paman menjaminmu dengan surat keaktifan mengajar Paman di kampus. Tolong mengerti, Zi” jelas pamannya tegas.
***
“Zi, besok ujian. Sekarang sudah jam dua pagi, antum gak tidur?” sapa temannya yang lewat menuju ke kamar mandi.
‘Ujian akhir ini harus bisa aku menangkan. Pasti Bang Udin senang bila melihatku lulus.’ Kata hatinya.
Setiap malam, ia berusaha menghafal dan memahami buku bacaan yang akan diujikan keesokan harinya. Hingga masa tenang -masa penantian menunggu hasil kelulusan- tiba. Rindu dengan suara Bang Udin, ia menelepon salah satu keluarga di Nias. Mereka memberi semangat untuk terus belajar dan dapat melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Sementara kabar Bang Udin, ia sedang istrahat, kata mereka.
Waktu kelulusan tiba. Banyak santri yang memberi selamat padanya. “Mabruk alaik ya akhi”. Alhamdulillah ia lulus dengan predikat mumtaz.
‘Ijazah ini untuk Bang Udin.’ kata hatinya. Ia minta pada pamannya agar mengurus kepulangannya, tapi..
“Zi, kamu yang sabar, ya. Ketika keluarga di sana memberi kabar pada paman, mereka bilang kalau ini dirahasiakan dulu agar ujianmu lancar. Tidak terganggu. Kau juga sudah berjanji akan kuliah ke luar negeri, kan?”
“Iya, Paman. Rahasia apa?” tanyanya penasaran.
“Setelah kita sampai ke Medan, mereka menelpon Paman mengabarkan bahwa Bang Udin sudah tiada. Ia sudah tenang beristirahat..” kata Pamannya berat.
Ia terkejut. Serasa masih tak percaya dengan apa yang dikatakan Pamannya. Ia diam. Dalam benaknya masih terngiang suara Bang Udin yang mengatakan “Dia bilang besok akan menjemputnya lagi untuk bermain di taman itu.”
0 Comments:
Posting Komentar