Secarik Catatan Harian
Ilustrasi gambar: Pexels |
Ferdi tiba di sekolah telat. Sehabis salat subuh, ia membaca buku hingga tertidur. Masih mengantuk karena semalam mengisi kajian di tempat yang lumayan jauh. Ia sedikit bingung melihat sekolah sepi. Beberapa orangtua menggandeng tangan anaknya kembali pulang. Ia mendekati salah satu orangtua siswa untuk menanya keterangan.
“Bapak belum tahu? Bu Rahmi sedang di bawa ke rumah sakit. Semua guru menjenguk ke sana. Anak–anak hari ini diliburkan.” terang wali siswa itu.
Ferdi balik arah menuju rumah sakit. Ketika sampai di simpang gang, sebuah angkot berhenti. Luna turun tergesa.
“Ada apa, Pak?” Tanya Luna yang baru selesai memberikan ongkos kepada supir angkot. Jarang sekali Ferdi mau bicara dengan rekan guru wanita. Kecuali ada satu hal yang sangat penting. Dengan singkat Ferdi memberitahukan berita yang baru saja ia dapat.
Sejurus kemudian, mereka menemui guru–guru lainnya yang telah berada di sana. Ferdi bergabung dengan guru pria, dan Luna bergabung dengan guru wanita.
Luna dan Rahmi berbeda dengan guru wanita lainnya yang hanya memakai jilbab sebatas menutup leher. Rahmi dan Luna juga sering ikut pengajian rutin orang tua siswa yang diisi oleh Ferdi. Jilbabnya menjulur lebar hingga menutup sebagian besar tubuhnya, baju gamisnya yang longgar dan panjang, mampu membuat Ferdi jatuh hati.
Luna masih mengipasi Rahmi yang belum sadar dengan buku yang asal cabut dari tasnya. Luna dipanggil oleh salah satu guru wanita untuk berdiskusi di luar sebentar. Buku yang dipakai Luna untuk mengipasi Rahmi, tertinggal disamping Rahmi yang mulai sadar.
Tanpa sengaja rahmi membuka buku itu. Itu buku diary Luna. Ia buka halaman terakhir..
Jum’at, 22 januari 2010, 03: 15
“Ya Rabb, seandainya aku boleh menawarkan diriku pada seorang lelaki, aku ingin Ferdi menjadi suamiku. Aku mencintainya karena ilmu agamanya. Namun aku tak mau menjadi pagar makan tanaman. Rabbighfirli ‘ala kulli dzunubi..”
***
Malam itu kepalanya pusing. Ia teringat ucapan ibu..
“Kapan kamu akan menikah, nak? Sudah dua adikmu yang menikah. Apa kamu akan terus-terusan mengingatnya? Sampai kapan?”
Di kamarnya, Ia masih mamandangi foto almarhum suaminya. Bayangan wajahnya dan tragedi itu terputar kembali di kepalanya. Pesta pernikahan selesai digelar. Lebih dari seratus tamu undangan hadir. Seorang petugas datang dan menanyakan kejelasan KTP yang dibawa.
Gaun kebaya masih melekat. Suaminya masih di ruang gawat darurat. Dokter berkata, “hanya ini yang sanggup kami lakukan. Tuhanlah yang menentukan segalanya.” Ia jadi lemas mendengar itu.
Sebelumnya suaminya permisi untuk menjemput ibunya yang baru datang dari kampung. Seharian ia tak khusuk menikmati suasana pesta. Ia hanya memikirnya ibunya. Nahas, kendaraan yang ia gunakan mengalami kecelakaan di perjalanan.
Sepertiga malam, Luna habiskan untuk beribadah. Memohon agar dimudahkan jodohnya.
Hari mulai terang, kokok ayam terdengar saling bersahutan. Orang-orang memulai aktifitasnya. Agar berkah, apapun itu pekerjaannya dimulai dengan mengucap bismillah..
“Luna, kamu gak pergi ngajar, nak?, sekarang sudah jam delapan..” Tegur ibunya membangunkan. Ia tertidur di atas permadani yang digunakannya untuk salat malam tadi. Ia tersentak dan segera berberes. Bukupun asal sahut saja.
***
Ferdi datang ke rumah Rahmi untuk melamarnya. Sengaja Rahmi mengundang Luna, sahabat dekatnya. Saat acara berlangsung, Rahmi menjelaskan pada keluarga Ferdi bahwa ia mengalami sakit kanker. Ia tak mau membuat Ferdi bersusah sebab penyakitnya itu. Rahmi memperlihatkan berkas hasil pemeriksaan kesehatannya dari Rumah Sakit.
Bahkan hidupnya telah dapat di prediksi. Hidup dan mati memang di tangan Tuhan, tapi analisa dokter berdasarkan hasil serangkaian pemeriksaan lab. Rahmi juga menyertakan selembar isi dari potongan buku diary Luna.
Luna dan Ferdi terkejut dengan apa yang dikatakan Rahmi. Luna tak menyangka Rahmi akan berujar begitu. Memang cinta tak dapat dipaksakan. Luna tak jauh berbeda dengan karakter Rahmi. Ia memang berstatus janda, tapi belum melewati malam pertama.
Ferdi minta waktu untuk istikharah. Ia menyerahkan keputusan itu pada ibunya. Menurutnya, apa yang dipilih oleh ibunya pasti baik untuknya. Kelak istrinya juga akan bergabung bersama ibunya.
Ia hanya tak mau melihat ketidakserasian antara ibu dan menantu. Cantik memang salah satu poin kriteria calon istri, tapi agama lebih utama. Hati yang cantik akan membawa sifat dan perilaku yang cantik juga. Namun jika hati itu buruk, secantik apapun wanita, tetap ia dipandang buruk.
Seminggu berlalu setelah melamar Rahmi. Ferdi dan keluarganya datang ke rumah Luna untuk melamarnya.
0 Comments:
Posting Komentar