Informasi Dan Edukasi

Rabu, 09 Desember 2020

Keluarga Sakinah

Keluarga Sakinah
Pixabay


        KARIR, pamor dan obsesi. Itulah label yang diberikan rekan – rekan kerjanya. Nota produksi yang ia pegang, memaktubkan namanya sebagai pembawa acara untuk program “Keluarga Sakinah”.

Disudut meja kerjanya ia masih diam. Pengelihatannya masih tertuju pada nota produksi itu. Bagaimana ia bisa membawakan acara “keluarga sakinah, sementara ia telah gagal membina rumah tangga. Ia takut kenangan tujuh tahun silam mengacaukan fokusnya bekerja saat mengudara.

Vi, ini profil keluarga sakinah yang akan hadir nanti” kata Pak Amin selaku produser acara. Ia terima tapi belum membuka map itu. Ia masih sibuk mengoreksi naskah berita yang akan ia baca sebelum acara itu dimulai.

Waktu tinggal sepuluh menit lagi. Seharusnya ia sudah berada di kursi siaran. Tapi ia belum siap mengoreksi naskah berita. Ada kata atau kalimat yang kurang jelas. Ia setengah berlari menuruni anak tangga menuju ke ruang pemberitaan. Sesaat kemudian, ia kembali naik ke ruang siaran dengan masih membawa beberapa lembar naskah berita yang siap di baca.  

Dan oupssss..

Ia bertabrakan dengan seseorang. Naskah berita itu berserakan. Kecepatannya berjalan dan kekhawatirannya akan terlambat, membuatnya tak awas memperhatikan depan.

Dengan cekatan ia mengumpuli lembaran naskah yang bertaburan. Orang itu juga ikut membantu mengumpulinya. Tanpa sempat melihat siapa yang ia tabrak. Semua terkumpul. Lelaki itupun memberikan lembaran naskah itu padanya dan,

Terima ka..Perkataannya terputus. Ia melihat lelaki itu. Ia heran, kenapa laki-laki itu ada disini?  

Elvi! Sudah jam berapa ini? Tune buka berita harusnya sudah diputar!” Sergah Pak Amin mendadak dari atas. Mengacaukan suasana dramatis itu. Ia langsung menghambur ke studio.

Sebuah keluarga telah menanti di ruang wawancara. Profil keluarga sakinah baru sempat ia baca setelah ia selesai membaca berita. 

“Baik pendengar, setelah disampaikannya warta berita, lanjutlah kita ke rangkaian acara berikutnya, dalam “Keluarga Sakinah. Dan telah hadir juga.. Omongannya terhenti saat melihat ke ruang wawancara yang dibatasi oleh kaca tembus pandang. Ia tak menyangka melihat lelaki itu lagi. Siaran di udara fakum beberapa detik. Pak Amin memberi kode dari samping untuk memutarkan iklan dulu.

Elvi, ada apa denganmu? Tidak biasanya kamu begini. Kita semua akan malu jika acara ini gagal. Jangkauan radio ini hingga ke luar kota. Tolong bantu kami!Seru Pak Amin yang kesal dengan ketidakwajaran Elvi saat itu.

Ia hanya diam. Hatinya masih beraduk. Ada perasaan menyesal, tak rela, benci, cinta dan sedih. Tapi mau bagaimana lagi. Citra perusahaan ini ada ditangannya. Ia harus profesional. Tidak mengikutkan urusan pribadi dalam pekerjaannya.

Iklan hampir selesai. Pak Amin kembali memberikan semangat agar ia dapat menyiar dengan baik di edisi perdana acara itu.

“Baik pendengar, sebuah keluarga yang akan menjadi nara sumber kita kali ini adalah keluarga dari Bapak hen…hen….hen….” Ia terbata membaca nama itu. Dari balik kaca samping, Pak Amin berulang kali memberi isyarat menyambung nama itu.

“Hendar Sudrajat beserta istrinya Ningrum Kusuma, M.Pd, dan kedua buah hatinya, Fatan dan Nasya. Assalamu’alaikum..

Keluarga itu menjawab salamnya. Mereka terlihat harmonis. Mereka juga memakai baju yang senada.

“Baik, setelah tadi saya paparkan profil keluarga ini, saya mau tanya kepada Ibu Ningrum, nih. Apa sih rahasia sukses menjadikan anak-anak punya karya?”

“Bagi saya, keluarga adalah nomor satu. Saya dan suami sudah berkomitmen di awal kami menikah untuk terus berusaha menerapkan prinsip ‘rumahku adalah surgaku’ dalam rumah tangga. Sebagaimana kita tahu bahwa surga adalah tempat kesenangan yang kekal. Jadi kami terus berupaya agar penghuni rumah selalu bahagia

“Baik. Sebagai wanita karir, ibu dari dua orang anak, seorang penulis yang sering mengisi seminar, juga merupakan dosen di salah satu Universitas Negeri di kota ini. Bagaimana anda menjalani ini? 

Ya, Mbak Elvi. Saya lebih mengutamakan keluarga daripada itu semua. Awalnya memang saya begitu antusias mengejar prestasi. Tapi ketika itu terjadi, suami saya mengingatkan kembali bahwa itu semua hanya popularitas sementara di dunia. Sementara yang kekal adalah amal jariah kita yang akan kita bawa kelak ketika kita sudah tiada. Yaitu anak yang sholeh dan sholehah. Jadi sebenarnya karier seorang ibu itu bukanlah terletak pada berhasilnya ia berkarya, tapi ketika ia berhasil membuat keluarganya menjadi sukses berkarya. Terangnya santai 

Ingin rasanya Elvi segera mengakhiri acara itu. Mendengar penjelasan istrinya, sungguh bagai tamparan baginya yang pernah gagal berumah tangga. Tapi sekali lagi! Ia harus profesional. 

 

***

 

Ia buka pintu rumahnya perlahan. Masih melintas kata–kata dari istri seorang mantan suaminya. Ia masih bersandar di balik pintu.  Ia pandangi seisi rumah itu. Mulai dari lampu lampion hiasan langit–langit rumah, kursi jepara mahal, beberapa pernak pernik antik yang ia beli dari luar negeri. Seketika itu semua jadi hampa.

Tetiba terngiang kembali ucapan mantan suaminya dulu, tujuh tahun silam. Hendar berkata, “Seorang istri ibarat pakaiannya suami. Ia akan ikut kemanapun dan apapun kehendak suaminya, selama tidak melanggar perintah agama. Aku ingin engkau berhenti bekerja agar dapat menggunakan sepenuh waktumu untuk keluarga.”

 

Selesai

 

Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Statistik Pengunjung