Informasi Dan Edukasi

Jumat, 01 April 2022

MAKALAH IJTIHAD DAN MUJTAHID

IJTIHAD DAN MUJTAHID


 BAB I

PENDAHULUAN

 

Secara historis, ijtihad telah berkembang sejak zaman Rasul. Sepanjang fiqih mengandung "pengertian tentang hukum syara' yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf', maka ijtihad akan terus berkembang. Perkembangan itu berkaitan dengan perbuatan manusia yang selalu berubah-ubah, baik bentuk maupun macamnya. Dalam hubungan inilah, Asy-Syahrastani mengatakan bahwa kejadian-kejadian, dan kasus-kasus dalam peribadatan dan muamalah (tindakan manusia) terrnasuk yang tidak dapat dihitung. Secara pasti dapat diketahui bahwa tidak setiap kasus ada nash-nya. Apabila nash-nya sudah berakhir, sedangkan kejadian-kejadiannya berlangsung terus tanpa terbatas; dan tatkala sesuatu yang terbatas tidak mungkin dapat mengikuti sesuatu yang tidak terbatas, maka qiyas wajib dipakai sehingga setiap kasus ada ijtihad mengenainya.

Upaya pencarian ketentuan hukum tertentu terhadap masalah-masalah baru itu dilakukan pemuka sahabat dengan berbagai tahapan. Pertama-tama, mereka berusaha mencari hukum itu dari Al-Quran dan apabila hukum itu telah ditemukannya, maka berpegang teguh pada hukum tersebut, walaupun sebelumnya mereka berbeda pendapat. Selanjutnya, apabila masalah itu tidak ditemukan dalam Al-Quran, mereka mencarinya dalam Al-Hadis dengan cara menggali hadis dan menanyakan hadis yang berkenaan dengan masalah yang tengah dihadapinya kepada para sahabat. Apabila masalah itu tidak ditemukan dalam hadis tersebut, mereka baru melakukan ijtihad.

 


BAB II

PEMBAHASAN

 

A. Pengertian Ijtihad Dan Mujtahid

Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam Al-Quran Surah At-Taubah ayat 79 disebutkan:

... وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ ... 

“ …….Dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, …”

 

Ijtihad adalah masdar dari fiil madhi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta' pada kata ja-ha-da menjadi ijtahada pada wajan if-ta-a'-la berarti, "usaha itu lebih sungguh-sungguh". Seperti halnya ka-sa-ba menjadi iktasaba, yang berarti "usaha lebih kuat dan sungguh-sungguh." Oleh sebab itu, ijtihad berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya (istifragh al-wus' atau badzl al-wus'). Dengan demikian, ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh sesuatu. Sebaliknya, suatu usaha yang dilakukan tidak maksimal dan tidak menggunakan daya upaya yang keras tidak disebut ijtihad, melainkan daya nalar biasa, ar-ra 'y atau at-tafkir.

Adapun definisi ijtihad secara terminologi cukup beragam dikemukakan oleh ulama ushul flqih. Namun secara umum adalah “aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (Istinbath) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syari’at”

Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara' (agama). Dalam istilah inilah, ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan bahkan banyak para fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad itu bisa dilakukan di bidang fiqih.

Kalimat “Mujtahid” merupakan isim Fa’il dari kalimat “Ijtahada” yang artinya mencurahkan segala kemampuan/sungguh-sungguh. Isim Fa’il menurut bahasa indonesianya adalah pelaku (subjek). Jadi, dapat disimpulkan bahwa mujtahid ialah orang yang bertijtihad atau dengan kata lain sebagai seseorang yang mencurahkan segala kemampuan dalam mengistinbathkan hukum syara’.

B.  Dasar Hukum Ijtihad

Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, di antaranya:

1. Firman Allah dalam surah An-Nisa ayat 105:

إِنَّآ أَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ بِٱلْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُ  

 "Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu,"

 

2. Adanya keterangan dari sunah, yang membolehkan berijtihad, di antaranya:

Hadis yang diriwayatkan oleh Umar: “Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua pahala, dan bila salah maka ia mendapat satu pahala.”

 

C. Syarat-Syarat Mujtahid

Ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat ijtihad atau syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad). Secara urnum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Quran, baik menurut bahasa maupun syari'ah. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghapalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya saja, sehingga memudahkan baginya apabila ia membutuhkan. Imam Ghazali, Ibnu Arabi, dan Ar-Razi membatasi ayat-ayat hukum tersebut sebanyak lima ratus ayat.

b. Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syari'at. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghapalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya secara pasti, untuk memudahkannya jika ia membutuhkannya. Ibnu Arabi membatasinya sebanyak 3000 hadis. Menurut Ibnu Hanbal, dasar ilmu yang berkaitan dengan hadis Nabi berjumlah sekitar 1.200 hadis. Oleh karena itu, pembatasan tersebut dinilai tidak tepat karena hadis-hadis hukum itu tersebar dalam berbagai kitab yang berbeda-beda.

 

D. Objek Ijtihad

Menurut Al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara' yang tidak memiliki dalil yang qathi'. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad.

Dengan demikian, syari'at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian:

1. Syari'at yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qathi', seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji, atau haramnya melakukan zina, mencuri, dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Quran dan As-Sunah. Kewajiban shalat dan zakat berdasarkan firman Allah dalam surah An-Nur Ayat 56:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

"Dan Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat."

 

2. Syari'at yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya. ataupun eksistensinya (tsubut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma' para ulama.

 

E. Hukum Melakukan Ijtihad

Menurut para ulama, bagi seseorang yang sudah memenuhi persyaratan ijtihad di atas, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkenaan dengan ijtihad, yaitu:

a. Orang tersebut dihukumi fardu ain untuk berij'tihad apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari ijtihad-nya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain. Karena hukum ijithad itu sama dengan hukum Allah terhadap permasalahan yang ia yakini bahwa hal itu termasuk hukum Allah.

b. Juga dihukumi fardu 'ain jika ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya. Karena jika tidak segera dijawab, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.

c. Dihukumi fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lain selain dirinya yang sama-sama memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid.

d. Dihukumi sunah apabila ber- ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun tidak.

e. Dihukumi haram apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara qathi', sehingga hasil ijtihad-nya itu bertentangan dengan dalil syara'.

 

F. Tingkatan Mujtahid

Adapun tingkatan para mujtahid, menurut para ulama, di antaranya menurut Imam Nawawi Ibnu Shalah dan lain-lain, terbagi dalam lima tingkatan:

1. Mujtahid mustaqil

Adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia buat sendiri, dia menyusun fiqih-nya sendiri yang berbeda dengan madzhab yang ada. Menurut As-Suyuthi, tingkatan ini sudah tidak ada lagi.

2. Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil

Adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil, namun dia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, tetapi mengikuti metode salah satu imam madzhab. Dia bisa disebut juga sebagai muthlaq muntasib, tidak mustaqil, tetapi juga tidak terikat, karena dia tidak dikategorikan taqlid kepada imamnya, melainkan mengikuti jalan yang ditempuh imamnya. Di antaranya Abu Yusuf dan Muhammad Jafar dari Hanafiyah.

3. Mujtahid Muqayyad / Mujtahid Takhrij

Adalah mujtahid yang terikat oleh madzhab imamnya. Memang dia diberi kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya berdasarkan dalil, tetapi tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telah dipakai imamnya. Di antaranya Hasan bin Ziyad dari golongan Hanafi, Ibnu Qayyim dan Asyhab dari golongan Maliki, serta Al-Buwaiti dan Majani dari golongan Syafi'i.

4. Mujtahid Tarjih

Adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij, tetapi menurut Imam Nawawi dalam kitab Majmu', mujtahid ini sangat faqih, hapal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan hukumnya, dia juga mengetahui bagaimana cara mencari dalil yang lebih kuat, dan lain-lain. Tetapi kalau dibandingkan dengan tingkatan mujtahid di atas, dalam mengetahui kaidah-kaidah imamnya, ia tergolong masih kurang. Di antaranya, Al-Qaduri dan pengarang kitab Al-Hidayah dalam madzhab Hanafi.

5. Mujtahid Fatwa

Adalah orang yang hapal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam madzhab, mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang sulit, namun dia masih lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas. Menurut Imam Nawawi, "Tingkatan ini dalam fatwanya sangat bergantung kepada fatwa-fatwa yang telah disusun oleh imam madzhab, serta berbagai cabang yang ada dalam madzhab tersebut."

 

BAB III

PENUTUP

 

Ijtihad dilakukan oleh mujtahid untuk mengeluarkan hukum berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul. Karena mujtahid ini mengeluarkan hukum, maka ia disebut pula sebagai hakim. Tapi tidak semua orang dapat berijtihad begitu saja dan mengeluarkan fatwa. Untuk mencapai derajat mujtahid, seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Namun, dalam ijtihad terdapat perbedaan stratifikasi para mujtahid ke dalam beberapa martabat.
Kita telah mengetahui bersama bahwa sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits. Namun, seiring berjalannya waktu, permasalahan-permasalahan yang ditemui umat islam pun kian berkembang. Ketika permasalahan-permasalahan tersebut tidak dapat lagi diselesaikan hanya melalui nash Al-Qur’an dan Hadist secara eksplisit (jelas), timbul istilah ijtihad.

Tidak ada alasan untuk membatasi pemikiran untuk ber-ijtihad, apalagi perkembangan zaman yang semakin pesat, sehingga seringkali menimbulkan permasalahan baru yang sangat memerlukan ijtihad untuk pemecahannya.

Menurut Al-Baghawi dan Asy-Syahrastani, dihukumi dosa jika tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang mempelajari fatwa para ulama terdahulu. Hal itu dianggap meremehkan hukum syara', di samping semakin berkembangnya permasalahan yang tidak sama dengan waktu-waktu tertentu, yang sudah pasti memerlukan ijtihad untuk memecahkannya.


DAFTAR PUSTAKA

 

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia, 2007.  

http://tohayupz.blogspot.com/

http://id.wikipedia.org/wiki/Ijtihad

http://www.masbied.com/2010/11/21/pengertian-ijtihad-kedudukan-dasar-hukum-dan-syarat-syarat-ijtihad/

 

 

 

 


 

Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Statistik Pengunjung