SUARA musik itu begitu mengganggu. Padahal besok, hari kedua mereka ujian semester di kampus. Kebiasaan teman-teman di asrama belajar sistem kebut semalam saat ujian tiba. Menghapal dan atau memahami materi pelajaran yang akan diujikan besok. Ini sudah pukul dua belas malam.
Ini keterlaluan. Sudah satu semester ia tinggal di asrama, tentu ia faham peraturan asrama. Tidak boleh menyalakan musik. Bukan kali ini saja ia melakukannya. Surat peringatan juga sudah pernah dikeluarkan oleh pembina asrama, toh memang orangnya bebal.
“Kamu kalau mau dengar musik, silahkan kamu stell sendiri di kamarmu. Pakai headseat! Dengarin sepuasnya, sesukamu! Kami di sini mau belajar. Tolong jangan ganggu!” Ucap Rojab sambil menon-aktifkan radionya di ruang belajar. Rojab kembali ke kamarnya menyambung hapalan atau bacaan yang tertunda.
“Hey, kawan! Kalau mau belajar, ya belajar aja sana sendiri. Gak usah ngurusin orang.” Kata Raja bernada mengejek dari balik pintu kamar Rojab yang berpintu jaring-jaring kawat. Pintu itu tidak tertutup utuh. Sebagian bawahnya tertutup kayu dan sebagian atasnya tertutup jaring-jaring kawat. Ia kembali menyalakan radionya.
Rojab berusaha menahan diri. Ia coba kembali menghapal. Suara radio itu kembali membahana. Dengan riang dan mencoba bernyanyi, walau entah apa bait yang diucapkannya,
“Na..na..na.., hey! Sedang belajar, ya? Ha..ha..ha.. kesel, nih, ye..” Ejek Raja di depan pintu kamar Rojab.Ia tak terima di tegur dan dinon-aktifkan radionya. Sepertinya ia mencari imbang duel.
Rojab yang berusaha menahan amarahnya merasa panas karena terus disulut seperti itu. Ia keluar kamar..
“Sebenarnya mau kamu apa? Ngomong! Mau kamu apa? Mau berkelahi, gitu?” Sergahnya palak. Mereka beradu pandang sinis. Beberapa detik kemudian perkelahian pun jatuh. Masing–masing mereka berebut tempat untuk mendaratkan pukulan ke wajah lawan. Radio Raja yang menjadi sumber penyebab perkelahian itupun tercampak, tertendang oleh kesemerawutan mereka.
Suara ribut itu membangunkan penghuni asrama yang lain. Semua keluar menuju ruang belajar. Ketua asrama cepat melerai mereka. Ketegangan perkelahian itu reda sejenak.
Emosi Raja masih membuncah. Ia belum puas sampai ada yang kalah. Di sela–sela peleraian itu ia berkata, “Hallah, udah! Selesaikan saja sekarang!” Sambil menerobos kerumunan mereka yang memegangi Rojab dan kembali mendaratkan bogemnya. Ia tak peduli apa yang sedang dibicarakan kawan lainnya yang berusaha menenangkannya.
Rojab tentu tak tinggal diam. Dia pun membalas pukulan itu dengan telak mengenai rahang Raja. Pemisahan kali keduanya pun berlanjut. Raja kembali menggerutu “Kalau memang laki–laki, ayo dong! Satu lawan satu. Jangan beraninya keroyokan, gitu” Sambil memperbaiki bajunya yang berantakan.
Beberapa teman Rojab membantunya saat Raja mulai menerobos untuk menghantamnya.
“Ini bukan rumahmu yang seenak–enaknya saja kau berbuat. Kita semua numpang disini..” Ujar ketua asrama disela peleraian mereka.
Tak lama kemudian, terdengar suara bunyi gesekan pintu gerbang belakang terbuka. Itu rumah pembina asrama. Muka kesal nampak dari raut wajahnya. Pembina asrama yang memakai kaos hijau berkerah itu, masuk menuju arah keributan itu. Dengan membawa kayu seukuran satu meter yang baru diputus dari pohonnya, di samping asrama. Pembina asrama nyaris mendaratkan kayu itu tepat dipunggung Raja.
“Sudah berapa kali saya peringatkan, tapi kamu tetap tidak mau tahu. Kami hargai keberadaan kamu di sini, tapi kamu tidak menghargai kami. Mau kamu apa?” Sergahnya yang menarik kembali kayu itu.
“Gak, Pak, tadi itu saya cuma emosi aja” jawab Raja santai.
“Begini, Pak, besok kami mau ujian, jadi perlu belajar buat persiapan besok. Eh, dia malah menyalakan radionya di sini.” Ujar Rojab memotong pembicaraan.
“Asal kau tau, Raja. Sebenarnya kau sudah dikeluarkan dari asrama ini, karena sudah banyak pengaduan teman–temanmu. Tapi kau dikasihani, tidak tahu berterima kasih.” Kata pembina asrama bernada kesal.
Ia sedih melihat kejadian yang sangat memalukan itu. Bagaimana mungkin seorang mahasiswa bertingkah kekanak-kanakan seperti itu. Ia menyuruh Raja untuk meminta maaf pada teman-teman.
Ia meninggalkan mereka. Tak ada guratan sesal pada air muka Raja. Ia malah menyapu–nyapukan kedua telapak tangannya ke udara mengarah pada teman–teman yang berkumpul, seolah mengisyaratkan untuk bubar.
Rembulan malam mengintip dibalik pohon bambu. Beberapa serangga terlihat terbang mencari makan. Mereka kembali sibuk dengan persiapan ujiannya. Raja bersikap cuek. Seolah memandang tidak terjadi apa–apa. Ia malah sibuk menelepon temannya dari luar.
Ketua asrama dipanggil menghadap pembina asrama. Pikirnya ia akan diinterogasi lebih dalam soal kejadian tadi. Tapi ternyata ia diminta untuk membawakan seteko cappucino hangat untuk di bawa ke asrama.
Delitua, 150520
0 Comments:
Posting Komentar